Beberapa hari lalu saya bertemu seseorang yang mengaku bahwa dia, setiap pagi, rajin mengikuti kultwit saya tentang tafsir Muhammad Asad. Yang mengagetkan saya, dia bukan Muslim. Ini pengalaman menarik buat saya. Bahwa ada seorang yang bukan Muslim tertarik pada ulasan saya tentang Quran berdasarkan tafsiran Muhammad Asad tentu membuat saya senang.
Pertama, saya senang karena twit saya soal tafsir Asad ada yang baca. Kedua, lebih menyenangkan lagi karena yang baca itu dari pihak bukan Muslim. Ketika saya tanya dia, kenapa dia yang bukan Muslim tertarik membaca kultwit saya soal tafsir Muhammad Asad. Jawaban dia menarik: karena keterangan Asad mencoba menafsir Quran dengan pendekatan yang universal, sehingga pembaca bukan Muslim juga bisa ikut menikmatinya. Jawaban dia tadi, bagi saya, tepat mengenai sasaran. Memang salah satu keistimewaan tafsir Muhammad Asad ini adalah: dia mencoba menafsir Quran sehingga kitab ini “make sense” bagi pembaca modern, termasuk pembaca bukan-Muslim. Yang dimaksud “pembaca modern” di sini, menurut kesan saya setelah membaca banyak bagian dari tafsir Asad ini, adalah pembaca modern yang tumbuh dalam kultur pasca-Pencerahan.
Ciri kultur ini adalah kuatnya tradisi rasionalitas.
Karena itu tak heran jika model yang menjadi acuan Asad adalah tafsir Al-Manar, tafsir yang memang salah satu cirinya adalah menerangkan Quran dengan pendekatan yang rasional. Fenomena mukjizat tidak diingkari dalam tafsir dengan pendekatan semacam ini, melainkan sebisa mungkin dijelaskan dengan cara yang masuk akal. Karena itu, Muhammad Asad dalam tafsirnya ini mencoba untuk tak terlalu mengikatkan ayat-ayat Quran dengan asbabun nuzul-nya. Sebisa mungkin dia mencoba mencari pesan umum atau universal dari Quran. Jika Quran terlalu dipahami berdasar asbabun nuzul-nya, demikian saya duga pandangan Asad (sebab dia tak pernah mengatakannya dengan eksplisit), maka Quran akan menjadi terlalu terbatas jangkauan pesannya. Jika Quran dipahami dengan terlalu dikaitkan dengan asbabun nuzul-nya, maka Quran akan terlalu terikat dengan konteks tertentu, lalu aspek universalitasnya menjadi kurang menonjol.
Ini yang hendak dihindari Asad. Dia ingin pesan-pesan Quran bergaung secara universal. Dia ingin agar Quran bisa berbicara secara “masuk akal” kepada pembaca modern.
Ini hanya bisa dicapai jika Quran dipahami dengan tidak mengikatkannya pada konteks turunnya dulu di abad ke-7 Masehi. Contoh yang baik adalah saat Asad menerangkan ayat 4: 105. Ayat ini, jika kita baca tafsir-tafsir klasik, terkait dengan insiden Ta’mah bin Ubairaq yang mencuri tetapi kemudian ingkar dan malah menuduh orang Yahudi. Asad mencoba memahami ayat 4:105 tadi dengan tanpa mengaitkannya dengan insiden Ta’mah tadi, melainkan, baginya, ayat itu sudah cukup bisa dipahami dengan dirinya sendiri, tanpa melihat asbabun nuzul-nya.
Bagi Asad ayat 4:105 tadi cukup dipahami dengan dirinya sendiri tanpa harus dikaitkan dengan insiden Ta’mah. Makna universal ayat itu: Nabi (dan juga umatnya) diperintahkan untuk mengambil keputusaann yg adil. Keputusan yang adil adalah keputusan yang objektif yang tak didasarkan pada favoritisme. Walau obyek putusan itu adalah seorang Muslim, dia tak boleh dianak-emaskan. Keadilan adalah salah satu prinsip penting yang berkali-kali ditegaskan dalam Al-Quran. Dalam ayat 4:105 Nabi seperti diberikan “warning” yg keras: jangan menjadi kawan yang membela orang yang berkhianat (pada keadilan), ولا تكن للخائنين خصيما , walau itu seagama dengan kamu. Dengan pendekatan yang universal semacam ini Asad hendak menjadikan Al-Quran relevan terus dengan situasi apapun. Caranya adalah kita harus menggali makna universal yang tersembunyi dalam sebuah ayat.