Surat Alu ‘Imran

Tafsir Muhammad Asad
— Oleh

Bab ini akan mengulas tafsir Asad terhadap Surah Alu ‘Imran. Ada banyak tema menarik dalam ayat-ayat di surat ini. Namun sebelum itu, mari kita simak “summary” atas Surah Alu Imran yang dibuat oleh Asad.

Surah ini adalah surah Madaniyyah kedua (atau, menurut beberapa ahli, surah ketiga) dan tampaknya diwahyukan pada 3 Hijriah. Namun, beberapa ayat surah ini turun pada periode yang jauh terkemudian, yakni pada tahun sebelum wafatnya Nabi (10 H). Nama “Keluarga ‘Imran” diambil dari kata ‘Imran yang tercantum pada ayat 33 dan 35, yang menunjukkan kesamaan asal-usul garis keturunan para nabi. 

Seperti surah sebelumnya (Al-Baqarah), surah ini dimulai dengan pembicaraan tentang wahyu Allah dan tanggapan manusia terhadapnya. Dalam Surah Al-Baqarah, penekanan utama diberikan pada pertentangan antara orang-orang yang menerima kebenaran yang Allah wahyukan dan mereka yang menolak kebenaran tersebut; di lain pihak, ayat-ayat pembuka Surah Alu ‘Imran merujuk pada kecenderungan banyak kaum Mukmin yang tersesat menafsirkan secara arbitrer ayat-ayat alegoris (mutasyabihat) dalam Al-Quran – dan, secara tersirat, juga dalam kitab-kitab suci yang diwahyukan sebelumnya – dan karena itu melahirkan dalil-dalil esoteris yang bertentangan dengan hakikat dan tujuan pesan Ilahi yang sebenarnya. Karena penuhanan Nabi Isa a.s. oleh para pengikutnya pada masa-masa terkemudian merupakan salah satu contoh paling menonjol dari jenis penafsiran yang arbitrer atas pesan asli seorang nabi, surah ini menceritakan kisah Maryam dan Nabi Isa a.s, serta Nabi Zakariya a.s. yang merupakan ayah Nabi Yahya a.s. (Yohanes sang Pembaptis), yang semuanya termasuk keluarga ‘Imran. Dalam surah ini, Al-Quran mengetengahkan bahasan mengenai doktrin Kristen tentang ketuhanan Nabi Isa a.s., yakni: bahwa Nabi Isa a.s. sendiri diceritakan berseru kepada pengikutnya agar menyembah Allah semata; bahwa Nabi Isa a.s. hanyalah manusia biasa yang akan mati juga terus-menerus ditekankan; dan dinyatakan bahwa “tidak mungkin seorang manusia yang telah diberi wahyu, hikmah, dan kenabian oleh Allah, kemudian berkata kepada manusia, ‘sembahlah aku di samping Allah’ ” (ayat 79).

Prinsip keesaan dan keunikan Allah serta kebergantungan mutlak manusia kepada-Nya dijelaskan dari berbagai sisi. Dan, prinsip ini pun secara logis mengantarkan pada masalah iman manusia dan pada masalah godaan – yang timbul akibat kerapuhan manusia- yang terus-menerus menerpa iman tersebut: dan hal ini mengantarkan pembicaraan kepada topik Perang Uhud- yang terjadi pada 3 Hijriah, yang hampir merupakan bencana bagi umat Muslim yang masih kecil, dan memberikan pelajaran yang, betapapun pahitnya, bermanfaat bagi seluruh perkembangan umat Muslim pada masa depan. Lebih dari sepertiga kandungan Surah Alu ‘Imran membahas pengalaman ini dan beragam-sisi hikmah yang harus diambil darinya.

Surah ketiga ini sangat penting karena memuat informasi tentang bagaimana Al-Quran harus dipahami. Yaitu ayat 3:7. Nanti akan saya dibahas. Dengan kata lain, Al-Quran adalah Kitab Suci yang “self reflexive“; maksudnya ia “sadar” tentang dirinya dan bagaimana dia mesti dipahami oleh pembaca. “Self reflexivity” itu tercermin dalam fakta bahwa Quran tak membiarkan dirinya dibaca dengan “cara” apa saja. Dia menunjukkan “jalan” bagaimana ia mesti dipahami oleh pembacanya. Inilah salah satu keunikan Quran. Surah Alu ‘Imran ini dibuka dengan ayat tentang konsepsi mengenai Tuhan dalam pandangan Islam.

Penulis

Buletin ghazalia

Dapatkan info publikasi dan program Ghazalia College terbaru.