QS. An-Nisa: 2-3

Tafsir Muhammad Asad
— Oleh

Tentang Poligami

“Karena itu, berikanlah kepada anak-anak yatim harta milik mereka, dan janganlah menukar yang buruk-buruk [milik kalian] dengan yang baik-baik [milik mereka], dan janganlah memakan harta mereka bersama harta kalian: sungguh, ini merupakan kejahatan yang besar. 

Apakah Asad setuju dengan poligami atau tidak, silakan menyimpulkan sendiri dari catatan dia yang cukup panjang ini:

Lit., “yang baik bagi kalian” – yaitu, perempuan-perempuan selain dari yang dilarang dalam ayat 22-23 surah ini (Al-Zamakhsyari, Al-Razi). Menurut penafsiran ‘Aisyah, janda Nabi, hal ini mengacu pada kasus (yang bersifat hipotesis) gadis-gadis yatim yang para walinya mungkin berkeinginan untuk menikahi mereka, tetapi tidak siap atau tidak mampu untuk memberi gadis-gadis itu mahar atau maskawin yang layak – implikasinya ialah para wali itu harus menghindari godaan untuk berbuat tidak adil itu dan hendaknya menikahi perempuan yang lain (bdk. Al-Bukhari, Kitab Al-Tafsir, serta Muslim dan Al-Nasai). Namun, tidak semua orang yang sezaman dengan ‘Aisyah menganut pandangan yang sama dengannya menyangkut ayat ini. Karena itu, menurut Sa’id ibn Jubair, Qatadah, dan para tabiin lainnya, maksud dari ayat di atas ialah: “Sebagaimana sudah sepantasnya kalian takut melanggar kepentingan anak yatim, kalian pun harus menerapkan pertimbangan yang sama hati-hatinya menyangkut kepentingan dan hak perempuan yang hendak kalian nikahi”. Dalam tafsirnya terhadap bagian ayat ini, Al-Thabari mengutip sejumlah variasi dari penafsiran di atas dan secara tegas menyetujui penafsiran tersebut”. 

Yang perlu diperhatikan menurut saya adalah fakta ini: Bahwa Asad menulis catatan cukup panjang tentang ayat poligami ini menunjukkan satu hal. Yakni bahwa soal poligami saat ini tak bisa dipandang lagi sebagai hal yang “taken for granted”. Isu ini sekarang menjadi problematis. Penafsir Quran klasik tentu tak perlu memberikan “penjelasan apologetis” panjang soal ayat poligami ini seperti dilakukan Asad itu. Sebab di era klasik, soal poligami dianggap sebagai hal yang tak perlu dipersoalkan lagi; sesuatu yang sudah “taken for granted”.

Yang menarik adalah bahwa ayat soal poligami ini turun dalam konteks pembicaraan mengenai isu sosial lain yang mendesak di masyarakat Arab saat itu. Ayat soal poligami ini tekait isu mengenai nasib anak-anak. Isu anak yatim menjadi isu serius karena jumlah mereka cukup besar. Di masyarakat tradisional di mana kedokteran belum berkembang pesat, tingkat harapan hidup umumnya masih rendah. Belum lagi jika kita lihat gejala perang suku yang sering terjadi di masyarakat Arab saat itu. Banyak anak-anak kehilangan ortu mereka sejak dini. Dengan kombinasi berbagai faktor sosial-politik-ekonomi, hasil akhirnya adalah: gejala anak yatim begitu umum di masyarakat Arab saat itu. Karena begitu meluasnya gejala anak yatim itulah kemudian turun ayat-ayat pertama dalam Surah Al-Nisa’ yang menanggapi isu anak yatim ini. Ayat 4:2 langsung memberi pesan umum: Berbuat adillah pada orang-orang yatim; serahkan harta mereka saat mereka dewasa. Jangan “ditilep”.

Dalam konteks pembicaraan soal isu anak yatim itulah kemudian datang ayat lain yang bicara soal poligami. Ini ayatnya:

Dan, jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim, nikahilah di antara perempuan-perempuan [lain] yang dihalalkan bagi kalian – bahkan dua, atau tiga, atau empat: tetapi, jika kalian khawatir tidak mampu memperlakukan mereka dengan keadilan yang setara, maka (nikahilah) satu orang [saja] – atau [nikahilah di antara] mereka yang kalian miliki secara sah. Yang demikian itu lebih memungkinkan kalian untuk tidak menyimpang dari jalan yang benar”. [QS, An-Nisa, 4: 3]

Bunyi ayat soal poligami itu: Jika kalian takut tak bisa berbuat adil terhadap anak-anak yatim, maka kawinilah perempuan yang kalian anggap cocok. Yang menarik adalah: Kenapa ayat yang menmbolehkan poligami itu dikaitkan dengan isu anak yatim? Ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang layak dipikirkan. Saya akan kutipkan pendapat penerjemah Quran dalam bahasa Inggris yang lain, Abdullah Yusuf Ali, tentang ayat poligami ini (catatan kaki no. 508) berikut ini:

“notice the conditional clause about orphans, introducing the rules about marriage. This reminds us of the immediate occasion of the promulgations of this verse. It was after Uhud, when the Muslim community was left with many orphans and widows and some captives of war. Their treatment was ti be governed by principles of the greatest hummanity and equity. The occasion is past, but the principles remain. Marry teh orphans if you are quite sure that you will in that way protect their interests and their property, with perfect justice to them and to your own dependants if you have any. If not, make other arrangements for the orphans”.

Catatan Abdullah Y. Ali itu menegaskan: bahwa Surah An-Nisa’ ini turun beberapa saat yang tak lama setelah Perang Uhud. Problem anak yatim muncul. Secara sekilas, ayat 4:3 itu memang ambigu, susah dipahami. Karena itu penafsir klasik pun beda pendapat mengenai makna ayat ini. Al-Tabari, penafsir Quran yang hidup pasa abad ke-10, menyebutkan perbedaan pendapat soal makna ayat soal poligami ini. Saya tak akan ulas satu persatu perbedaan pendapat yang disebutkan Imam Tabari itu. Bisa dibaca sendiri di tafsirnya yang supertebal itu. Buat saya yang menarik adalah “bundling” atau pengkaitan ayat soal poligami dengan pembicaraan soal perawatan anak-anak yatim. Sementara itu, Asad punya pendapat yang agak “aneh” soal salah satu isu yang termuat dalam ayat 4:3 mengenai poligami itu. Saya akan kutipkan berikut ini:

“Jadi, seluruh kalimat itu berarti: Nikahilah di antara perempuan-perempuan [lain] yang dihalalkan bagi kalian, atau [di antara] mereka yang kalian miliki secara sah – [bahkan] dua, atau tiga, atau empat: tetapi, jika kalian khawatir tidak mampu memperlakukan mereka dengan keadilan yang setara, maka (nikahilah) satu orang [saja]”. Hal ini menunjukkan bahwa – terlepas mereka adalah perempuan merdeka atau, pada mulanya, budak – jumlah istri tidak boleh melebihi empat. Dalam pengertian inilah Muhammad Abduh memahami ayat di atas (Al-Manar IV, h. 350). Lebih jauh, pandangan ini didukung oleh ayat 25 surah ini serta surah Al-Nur [24]: 32, yang membicarakan pernikahan dengan budak perempuan. Bertentangan dengan pandangan umum dan praktik banyak kaum Muslim pada abad-abad yang silam, baik Al-Quran maupun teladan hidup Nabi tidak pernah memberi dukungan terhadap hubungan seks tanpa pernikahan”.

Dengan kata lain, Asad berpendapat bahwa budak-budak perempuan tak boleh digauli majikannya tanpa melalui akad nikah. A rather curious opinion! Pendapat Asad ini berbeda dengan pendapat semua ulama fikih klasik.

Dalam fikih klasik, ada dua jalan untuk bolehnya menggauli perempuan. Pertama melalui nikah. Kedua melalui kepemilikan budak perempuan. Seorang majikan dibolehkan menggauli budak perempuannya tanpa nikah. Tentu saja, pendapat Asad ini sangat dipengaruhi oleh sensitivitas modern yang memandang isu perbudakan dengan secara skeptik, bahkan menolak.

Penulis

Buletin ghazalia

Dapatkan info publikasi dan program Ghazalia College terbaru.