QS. An-Nisa

Tafsir Muhammad Asad
— Oleh

Ada banyak isu yang menarik dalam bagian awal Surah An-Nisa’ ini. Pertama adalah tentang makna kata “nafs” dalam ayat pertama: 4:1. Ayat pertama itu menjelaskan tentang proses berkembang-biaknya manusia sebagai spesies.

“Wahai manusia! Sadarlah akan Pemelihara kalian, yang telah menciptakan kalian dari entitas hidup yang satu, dan darinya Dia menciptakan pasangannya; dan dari keduanya Dia menjadikan laki-laki dan perempuan berkembang biak berlipat ganda. Dan, tetaplah sadar akan Allah, yang dengan nama-Nya kalian saling meminta (hak-hak kalian), dan (sadarlah akan) tali hubungan keluarga ini. Sungguh, Allah senantiasa memantau kalian!” [QS An-Nisa, 4:1]

Sebagian penafsir klasik memaknai kata “nafs” itu sebagai Adam. Asad, mengikuti Muhammad Abduh, menolak tafsiran ini. Bagi Asad, yang dimaksud “nafs” di sini adalah “living entity”, entitas hidup. Kita baca justifikasi Asad atas tafsirannya berikut ini:

Dari sekian banyak arti yang dapat dihungkan dengan istilah nafs-jiwa, ruh, pikiran, makhluk hidup, entitas hidup, manusia, pribadi, diri (dalam pengertian identitas pribadi), umat manusia, sari-kehidupan, prinsip hidup, dan seterusnya- mayoritas mufasir klasik memilih arti “manusia” (human being) dan berpendapat bahwa, dalam konteks ayat ini, kata itu mengacu pada Nabi Adam a.s. Namun, Muhammad Abduh menolak tafsiran ini (Al-manar IV, hh. 323 dan seterusnya) dan dia lebih cenderung memilih arti “umat manusia” (humankind) karena istilah ini menekankan asal-usul yang sama dan persaudaraan umat manusia (yang tidak diragukan lagi merupakan maksud ayat di atas), tanpa pada saat yang sama mengaitkannya secara tidak beralasan dengan keterangan Bibel tentang penciptaan Adam dan Hawa. Dalam konteks ini, saya menerjemahkan nafs dengan “entitas hidup” (living entity) karena alasan serupa.

Adapun berkenaan dengan istilah zaujaha (pasangannya), perlu dicatat di sini bahwa, dalam kaitannya dengan makhluk hidup, istilah zauj (“sepasang”) berlaku baik untuk unsur laki-laki maupun perempuan dari suatu pasangan. Karena itu, dalam kaitannya dengan umat manusia, istilah ini dapat berarti pasangan perempuan (suami) maupun pasangan laki-laki (istri). Abu Muslim – seperti dikutip Al-Razi- menafsirkan frasa “Dia (Allah) menciptakan darinya (minha) pasangannya” sebagai berikut: Dia (Allah) menciptakan pasangannya (yaitu pasangan seksualnya) dari jenis sendiri (min jinsiha)”. Dengan begitu, pandangan Abu Muslim mendukung pandangan Muhammad Abduh yang telah disebut sebelumnya. Terjemahan harfiah “minha” menjadi “darinya” (“out of it”) jelas mengacu, sejalan dengan bunyi teksnya, pada fakta biologis bahwa kedua jenis kelamin tersebut berasal dari “entitas” hidup yang satu”.

Tafsiran Asad ini lebih sesuai dengan pendekatan “keadilan gender”, sebab fokus penciptaan tak semata-mata terletak pada Adam seperti dalam Kitab Kejadian.

Penulis

Buletin ghazalia

Dapatkan info publikasi dan program Ghazalia College terbaru.