QS. Alu ‘Imran: 81-90

Tafsir Muhammad Asad
— Oleh

Fondasi Keimanan Nabi-Nabi Terdahulu

Dan, lihatlah! Allah menerima, melalui para nabi, sumpah setia ini [dari para penganut wahyu terdahulu]: “Jika, setelah semua wahyu dan hikmah yang Aku sampaikan kepada kalian, datang kepada kalian seorang rasul yang mempertegas kebenaran yang sudah kalian miliki, kalian harus beriman kepadanya dan menolongnya. Apakah kalian -tegas-Nya- “mengakui dan menerima ikatan-Ku dengan syarat ini?”

Mereka menjawab, “Kami mengakuinya.”

Berfirmanlah Dia, “Maka, bersaksilah [terhadapnya], dan Aku akan menjadi saksi kalian”. [Alu Imran 3:81]

Ayat 3:81 berbicara soal “mitsaq” atau perjanjian antara Allah dan nabi-nabi terdahulu. Atau “covenant” dalam istilah Perjanjian Lama. Dalam tradisi Yahudi memang dikenal konsepi tentang “covenant”, yaitu perjanjian antara Tuhan dan bangsa Israel. Perjanjian itu berupa hukum dan aturam hidup yang harus ditaati, yaitu Sepuluh Perintah Tuhan dan hukum-hukum lain yang disebut Mosaic Law. Konsepsi tentang “covenant” ini diteruskan oleh agama Kristen dan diakui juga dalam Quran. Beberapa hukum dalam tradisi Mosaic Law (hukum Musa) masih dipakai dan diadopsi dalam Islam. Misalnya hukum qisas dan “dietary laws”. Ada hal lain yang sangat penting dalam ayat 3:81, yaitu bahwa apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah “musaddiq”, membenarkan ajaran-ajaran sebelumnya.

Ayat berikutnya, 3:82, bicara soal hukum Tuhan yang mengatur seluruh perkara, baik di langit dan bumi. Tak ada aturan selain aturan Tuhan.

“Maka, semua yang berpaling [dari sumpah ini] – mereka, mereka itulah yang benar-benar fasik!” [Alu Imran, 3:82]

Ayat 3:82 itu juga menekankan bahwa semua ciptaan, baik di langit/bumi, tunduk kepada “din” atau aturan Allah, baik sukarela atau tidak. Perihal segala hal di langit/bumi yang menaati hukum Tuhan, baik sukarela atau terpaksa ini, saya selalu ingat kuliah Tauhid Bang Imad. Maksudnya adalah Bang Imaduddin Abdurrahim. Bang Imad punya keterangan yang menarik soal hukum Tuhan yang ditaati semua ciptaan ini. Apa yang disebut aturan Tuhan ini, oleh Bang Imad, dimaknai sebagai “natural laws”, hukum-hukum alam, selain hukum-hukum keagamaan yang mengatur manusia. Kata Bang Imad, hukum Tuhan berupa natural laws ini berlaku universal. Seorang beriman pun, jika salahi hukum ini, akan terkena dampaknya. Saya selalu ingat contoh menarik yang dikemukakan Bang Imad. Yaitu bangunan masjid yang tak memasang alat penangkal petir. Walau masjid rumah Tuhan, tapi jika tak memasang alat penangkal petir, bisa saja ia akan terkena petir. Karena hukum alam itu universal. Saya tahu, penafsiran ala Bang Imad yang cenderung “deterministis” ini pasti akan dikritik oleh para penganut teologi asy’ariyyah. Tetapi buat saya, tafsiran “modern” Bang Imad atas din/aturan Allah sebagai “universal natural laws” ini sangat menarik.

Ayat berikutnya, 3:84, menekankan prinsip keimanan dalam Islam berkenaan dengan nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad.

“Katakanlah: “Kami beriman pada Allah dan pada apa yang telah diturunkan kepada kami, serta (pada) apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan keturunan mereka, dan (pada) apa yang telah disampaikan Pemelihara mereka kepada Musa, Isa, dan semua nabi [lainnya]: kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka. Dan kepada-Nya-lah kami berserah diri.” [Alu Imran: 3:84]

Salah satu rukun/pilar keimanan dalam Islam adalah imam kepada seluruh kebenaran yang diturunkan (unzila) Tuyan kepada semua nabi/rasul. Sebab Islam mengenalkan konsep “wihdatul mashdar”, atau kesatuan sumber kebenaran agama – semuanya berasal dari Allah. Seorang Muslim dilarang membeda-bedakan antara para nabi (la nufarriqu baina ahadin minhum), sebab mereka semua adalah penyampai kebenaran-Nya. Meski Islam mengenalkan konsep kesatuan sumber kebenaran, dia juga mengkritik jika kebenaran itu didistorsikan, seperti kita baca dalam ayat-ayat lain.

Ayat 3:85 menekankan prinsip penting: Tiada agama yang benar selain agama yang mengajarkan ketundukan padaNya beserta aturan-aturanNya.

“Sebab, jika seseorang mencari agama selain penyerahannya kepada Allah, (agama) itu tidak akan pernah diterima darinya, dan di akhirat dia termasuk orang yang merugi.” [Alu Imran, 3: 85]

Ayat 3:85 ini bisa ditafsir secara eksklusif, bisa secara inklusif, tergantung pada cara pandang dan paradigma yang dipakai seseorang. Ayat 3:85 itu juga bisa dipahami sebagai pembenaran bahwa “jalan keselamatan” hanyalah bisa ditempuh melalui Islam, tidak melalui yang lain-lain. Tetapi ayat 3:85 ini bisa juga dimaknai secara inklusif, dan menurut saya inilah pemaknaan/pembacaan/pemahaman yang lebih tepat. Tafsir yang eksklusif akan mengatakan: ayat 3:85 menunjukkan bahwa agama yang paling benar hanyalah Islam. Yang lain keliru semua. Pembacaan yang inklusif atas ayat 3:85 ini akan memahaminya sebagai berikut: bahwa inti keagamaan yang benar adalah ketundukan pada Tuhan dan aturan-aturanNya. Agama yang benar adalah ketundukan pada sumber Kebenaran yang mutlak yang berasal dari Tuhan; bukan kebenaran-kebenaran dan hukum-hukum yang dibuat manusia. Tentu saja, apa yang disebut “Kebenaran Tuhan” itu diterjemahkan secara berbeda-beda dalam agama-agama yang berbeda-beda itu. Itu tak menjadi soal. Quran sendiri mengakui kemungkinan perbedaan jalan/minhaj/syir’ah yang diikuti oleh agama-agama yang beda-beda itu seperti disebut dalam ayat 5:48. Lepas dari perbedaan itu, ada aspek yang mempersamakan: yaitu iman kepada Allah, wahyu untuk nabi sebagai sumber kebenaran, dan kehidupan setelah mati.

Ayat berikutnya , 3:86, mengkritik sikap orang Yahudi/Kristen pada zaman Nabi yang menolak kebenaran yang dibawa Nabi Muhammad.

“Bagaimana Allah akan memberikan petunjuk-Nya kepada orang-orang yang memutuskan untuk menginkari kebenaran setelah meraih iman, dan telah bersaksi bahwa Rasul ini benar, dan [setelah] semua bukti kebenaran datang kepada mereka? Karena, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim seperti itu”. [Alu Imran, 3:86]

Kritik itu dilontarkan karena sumber kebenaran yang dibawa Nabi sama dengan kebenaran yang dibawa nabi-nabi sebelumnya. Kenapa orang-orang Yahudi menolaknya? Semangat ayat 3:86 ini, saya pahami, sebagai kritik Quran atas pemahaman teologis yang tertutup dan eksklusif seperti ada pada komunitas Yahudi itu. Tetapi jangan lupa: sikap keimanan eksklusif pada komunitas Yahudi di Madinah yang dikritik Quran itu bisa juga terjumpa pada umat Islam. Kritik-kritik yang dilancarkan Quran terhadap orang-orang Yahudi di Madinah jangan dipahami bahwa itu adalah kritik yang khusus berlaku pada mereka saja. Kritik itu juga bisa terarah pada umat Islam jika yang terakhir ini melakukan hal yang pernah dilakukan oleh komunitas Yahudi dulu di Madinah.

Penulis

Buletin ghazalia

Dapatkan info publikasi dan program Ghazalia College terbaru.