QS. Alu ‘Imran: 71-80

Tafsir Muhammad Asad
— Oleh

Kritik Terhadap Orang Yang Mengingkari Kerasulan Nabi Muhammad

Wahai, para penganut wahyu terdahulu! Mengapa kalian menyelubungi kebenaran dengan kebatilan dan menyembunyikan kebenaran yang kalian ketahui [dengan pasti]? [QS Alu Imran 3: 71]

Ayat 3:71 masih berisi kritik atas sikap orang-orang Yahudi di Madinah terhadap kerasulan Muhammad. Padahal mereka tahu kebenaran ajaran Nabi. 

QS Alu Imran: 72-73

“Dan, sebagian penganut wahyu terdahulu itu [saling] berkata, “Tunjukkanlah keimanan kalian terhadap apa yang telah diwahyukan kepada orang-orang yang beriman [kepada Muhammad] pada permulaan hari, dan ingkarilah kebenaran yang datang kemudian, supaya mereka mungkin kembali [pada keyakinan mereka]; tetapi jangalan [benar-benar] beriman kepada siapa saja yang tidak mengikuti agama kalian.” [QS Alu Imran: 72-73]

Ayat 3:72-73 mengkritik sikap orang-orang Yahudi/Kristen yang bersikap mendua: membenarkan sebagian ajaran Quran, dan menolak sebagian yang lain.

Ayat 3:74 bicara tentang Allah yang memberikan rahmat-Nya kepada siapapun yang Dia kehendaki. Salah satu bentuk rahmat itu ialah memberikan bangsa Arab di luar bangsa Yahudi seorang Nabi dan Kitab Suci (Quran). Ayat 3:75 bicara tentang pujian dan sekaligus kritik Quran atas sikap-sikap sosial masyarakat Yahudi. Quran menegaskan: sebagian orang-orang Yahudi ada yang memegang amanah dengan teguh ketika dititipi barang dalam jumlah besar (qinthar). Tetapi sebagian orang Yahudi yang lain ada juga yang tak memegang amanah ketika dititipi barang, walau hanya sekeping kecil uang emas. 

Ayat 3:75 tadi itu dengan sangat baik menunjukkan, Quran bersikap fair terhadap komunitas Yahudi di Madinah. Dipuji dan dikritik sekaligus. Jika ada sikap-sikap sosial komunitas Yahudi yang positif, Quran mengakuinya dan sekaligus memberikan apresiasi terhadapnya. Ini sekali lagi menegaskan bahwa Quran sama sekali menolak sikap rasialisme: misalnya menganggap ras Yahudi secara natural jahat. Kritik-kritik Quran terhadap komunitas apapun, termasuk Yahudi, diarahkan pada sikap dan perangai. Bukan pada ras atau bangsa “in toto”. Quran sama sekali menolak esensialisme: bahwa bangsa Yahudi, misalnya, secara natural-esensial adalah bangsa yang kotor, seperti anggapan Nazisme. Ayat 3:75 juga mengkritik sikap sosial komunitas Yahudi yang memandang orang-orang di luar mereka sebagai lebih rendah (superiority complex). 

Ayat 3:76 menyatakan bahwa harga seseorang di mata Tuhan bukan keanggotaannya dalam suatu komunitas, tetapi komitmennya menjaga ikatan dengan Tuhan. Dengan kata lain: perasaan superior dan lebih unggul dari bangsa lain ditolak oleh Quran. Sebab seseorang dinilai berdasarkan ketakwaannya. 

Ayat 3:77 mengkritik orang-orang yang memilih iming-iming material ketimbang komitmen yang teguh pada ikatan Tuhan (‘ahdil-Lah). 

Ayat 3:78 mengkritik orang-orang Kristen yang dalam kaca mata teologis Islam dianggap menyelewengkan ajaran asli Nabi Isa. 

Ayat 3:79 menerangkan visi Quran tentang sosok Nabi Isa. Ia bukan Tuhan, dan tak mungkin mengaku diri sebagai Tuhan. Sebaliknya, yang diajarkan Nabi Isa adalah agar pengikutnya menjadi rabbiniyyin, bukan menganggap dirinya sebagai Tuhan. Yang dimaksud dengan “rabbaniyyin” adalah “orang yang mencurahkan dirinya semata-mata pada upaya mengenal Sang Pemelihara/Tuhan dan menataatiNya.”

Terakhir, ayat 3:80 bicara bahwa Nabi Isa juga tak memerintahkan agar pengikutnya menisbahkan kekuatan ilahiah pada malaikat dan para nabi. Yang menarik, Asad secara konsisten menerjemahkan istilah “ahlul kitab” yang banyak dipakai di Quran dengan “para penganut wahyu terdahulu.”

Setelah menjelaskan secara garis besar isi masing-masing ayat 3:71-80, saya akan ulas secara lebih dalam komentar/tafsir Asad. Banyak yang menarik! 

Yang pertama, Asad menerjemahkan ayat 3:71 dengan cara yang menarik. Mari kita baca:

Frasa “talbisunal haqqa bil bathil” diterjemahkan Asad sebagai: menyelubungi kebenaran dengan kebatilan. Ini terjemahan yang orisinal. Umumnya frasa itu diterjemahkan sebagai: mencampur-adukkan antara kebenaran dan kebatilan, seperti terjemahan versi Prof. Quraish berikut ini:

Hai Ahl al-Kitab! Mengapa kamu mencampuradukkan yang haq (kebenaran sempurna) dengan yang batil (salah dan sesat), dan menyembunyikan yang haq (kebenaran sempurna), sedangkan kamu mengetahui? 

Kedua, Ayat 3:72 diberikan komentar yang menarik oleh Asad sebagai berikut:

Mayoritas mufasir, dengan bersandar pada beberapa pandangan yang ada di kalangan tabiin (yakni generasi sesudah Sahabat Nabi), memahami ayat ini demikian: “Pada pagi hari, tunjukkanlah keimanan kalian pada apa yang telah diwahyukan kepada orang-orang yang memercayai Muhammad dan ingkarilah [sebagian dari] kebenaran itu pada sore harinya.” Terjemahan ini menunjukkan bahwa upaya orang-orang Yahudi-Kristen mengacaukan kaum Muslim, yang disebutkan oleh ayat tersebut, dilakukan dengan cara mengubah-ubah pengakuan keimanan dan kekafiran mereka atas pesan-pesan Al-Quran. Di sisi lain, terjemahan yang saya pilih (dan didukung oleh Al-Asham, yang penafsirannya dikutip oleh Al-Razi dalam tafsirnya atas ayat ini) menunjukkan bahwa sebagian orang Yahudi dan Nasrani telah dan terus berharap untuk meraih tujuan ini dengan mengakui, betapa pun enggannya, bahwa mungkin saja terdapat “sejumlah kebenaran” dalam pewahyuan awal Al-Quran (“yang telah diwahyukan pada permulaan hari”), meskipun mereka sama sekali menolak bagian-bagian Al-Quran yang diwahyukan berikutnya karena jelas-jelas berlawanan dengan ajaran tertentu Bibel.

Terakhir, ayat 3:80 bicara bahwa Nabi Isa juga tak memerintahkan agar pengikutnya menisbahkan kekuatan ilahiah pada malaikat dan para nabi. Yang menarik, Asad secara konsisten menerjemahkan istilah “ahlul kitab” yang banyak dipakai di Quran dengan “para penganut wahyu terdahulu.”

Ia menerjemahkannya seperti dalam surat Alu Imran ayat 71 berikut ini:

Wahai, para penganut umat terdahulu! Mengapa kalian mengingkari kebenaran pesan-pesan Allah yang kalian saksikan sendiri? [3:71]

Komentar Asad yang lain yang juga menarik adalah atas ayat 3:78, tentang kritik Quran atas orang-orang Kristen yang menyelewengkan ajaran Isa/Yesus.

Dalam menjelaskan ayat 3:78 ini ia mengutip pendapatnya Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar:

Menurut Muhammad Abduh (Al-Manar III, h. 345), penyelewengan Alkitab yang disebutkan di atas tidak harus mengandaikan suatu pengrusakan atas teks itu sendiri: ia juga dapat terjadi “dengan memberikan makna yang lain terhadap suatu ungkapan, selain makna yang dimaksudkan semula”. Sebagai contoh, ‘Abduh mengutip penggunaan majasi, dalam Injil, dari istilah “Bapaku” yang mengacu pada Tuhan; istilah yang, sebagaimana terlihat dalam “Doa Bapak Kami”, sebenarnya dimaksudkan untuk “Bapa” – yakni, Pencipta dan Pelindung- seluruh manusia. Namun selanjutnya, beberapa orang yang mengklaim sebagai pengikut Nabi Isa a.s. mencabut ungapan ini dari ranah metafora dan “mengalihkannya ke ranah realitas positif dan merujukkannya pada Nabi Isa a.s. saja”: dan, dengan demikian, mereka menyebarluaskan gagasan bahwa Isa a.s. adalah “anak Tuhan” secara harfiah, yakni, penjelamaan Tuhan. 

Banyak ayat dalam Surah Baqarah (2) dan Alu Imran (3) yang melancarkan kritik atas orang-orang Yahudi dan Kristen? Bagaimana membaca ayat-ayat ini? Bagaimana orang-orang Yahudi dan Kristen mesti membaca ayat-ayat seperti itu dalam Quran? Ini pertanyaan-pertanyaan yang tidak mudah jawabannya. 

Ayat-ayat Quran yang berisi kritik atas orang-orang Yahudi dan Kristen itu tidak merupakan kritik atas mereka secara keseluruhan sebagai komunitas. Yang dikritik oleh Quran hanyalah sikap sosial dan visi teologis Judaisme dan Kekristenan. Sementara itu Quran menolak rasialisme. Kritik-kritik Quran atas Kekristenan jelas untuk menegaskan pandangan teologis Quran yang beda tentang sosok Isa/Yesus. Karena Islam berasal dari akar yang sama dengan Yahudi dan Kristen, tentu saja ada sejumlah kesamaan antara ketiganya. Tetapi juga ada perbedaan. 

Kritik-kritik Quran atas Kekristenan menunjukkan bahwa ia memiliki visi teologis yang beda; kritik sebagai cara untuk membangun “distinctiveness”. Kritik Quran atas dua agama sebelumnya tak beda dengan kritik Nabi Isa/Yesus terhadap orang-orang Farisi yang banyak kita jumpai dalam Injil. Sering kita jumpai bahwa kelahiran agama baru biasa disertai dengan kritik atas agama-agama sebelumnya yang berasal dari “rumah” yang sama. Ini terjadi pada Kristen yang mengkritik Yahudi, dan Islam yang mengkritik dua agama yang datang sebelumnya itu. Kritik ini dilakukan untuk membangun sistem kepercayaan yang khas dan berbeda. Tanpa kekhasannya ini, agama baru yang datang belakangan tentu kehilangan alasan untuk ada (raison d’être). Tapi kita jelas keliru jika menjadikan kritik-kritik Quran atas visi teologis Kristen ini sebagai alasan untuk “tengkar” dengan orang-orang Kristen. Walau Quran mengkritik visi teologis Kristen, tetapi Quran juga mengakui bahwa pada akhirnya kepercayaan tak bisa dipaksakan (ayat 2:256). Quran juga mengakui prinsip “letting others to be different”, membiarkan yang lain beda, dengan prinsip: bagimu agamamu, bagiku agamaku (109:6). Demikianlah, dalam pandangan saya, cara memahami secara proporsional ayat-ayat yang berisi kritik atas Yahudi dan Kristen. 

Dalam interaksi sehari-hari, Quran menghendaki kehidupan yang didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, fairness, sikap bersahabat (QS 60:8). Yang berpendangan bahwa Islam/Quran menghendaki kehidupan yang penuh permusuhan terus-terusan dengan pihak di luar Islam jelas keliru. Sikap-sikap sebagian kalangan Islam yang hendak membangun “wacana penuh kecurigaan” dengan pihak lain bertentangan dengan visi sosial Qurani. Wacana kecurigaan itu kerapkali lebih berhubungan dengan faktor-faktor politik/ekonomi/kultural, ketimbang semata-mata alasan teologis.

Penulis

Buletin ghazalia

Dapatkan info publikasi dan program Ghazalia College terbaru.