Dasar Konsep Mubahalah?
Ayat ini yang seringkali menjadi dasar argumentasi mubahalah yang populer akhir-akhir ini. Mubahalah adalah semacam sumpah-laknat; sumpah agar siapapun yang bohong dalam sebuah pertikaian dilaknat oleh Tuhan. Praktek mubahalah ini, menurut penafsir Quran klasik, pernah dilakukan Nabi saat berdebat dengan rombongan Kristen dari Yaman. Mari kita baca teks lengkap ayat 3:61 ini beserta komentar Asad atasnya:
“Dan, jika siapa saja membantahmu tentang [kebenaran] ini setelah seluruh pengetahuan datang kepadamu, katakanlah: “Ayo! Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, perempuan-perempuan kami dan perempuan-perempuan kalian, diri kami dan diri kalian; kemudian, marilah kita [sama-sama] berdoa dengan merendahkan diri dan sungguh-sungguh, dan marilah kita memohon agar kutukan Allah ditimpakan kepada orang-orang [di antara kita] yang berdusta.” [QS Alu Imran: 61]
Berikut komentar Asad atas ayat di atas:
Yakni, mengenai hakikat Nabi Isa yang sesungguhnya menurut semua ahli yang terpercaya, ayat 59-63 surah ini diwahyukan pada 10 H saat terjadi perselisihan antara Nabi dan utusan Nasrani dari Najran yang, seperti semua orang Nasrani lain, menyatakan bahwa Nabi Isa as. adalah “anak Allah” dan, karenanya, sebagai penjelmaan Tuhan. Meskipun mereka menolak “pengadilan melalui doa” (mubahalah) yang diajukan Nabi kepada mereka, Nabi menjanjikan jaminan hak-hak sipil dan kebebasan menjalankan agama kepada mereka.
Pertanyaannya: apakah setiap perdebatan mesti diakhiri dengan sebuah mubahalah? Apakah praktek mubahalah tepat untuk perdebatan pemikiran? Kalau kita tengok sejarah perdebatan pemikiran dalam Islam di zaman klasik, setahu saya jarang, atau tak ada yang berujung dengan mubahalah. Perdebatan pemikiran ya harus diselesaikan dengan debat pemikiran. Inilah yang dilakukan oleh semua ulama Islam di masa lampau. Baik debat di antara kalangan Islam sendiri atau antara kalangan Muslim dan non-Muslim, tak ada yang dipungkasi dengan sebuah mubahalah. Jadi, kalau demikian, apakah ayat 3:61 menandakan masyru’yyah atau diperintahkannya praktek mubahalah dalam sebuah debat? Asad sendiri tak memberi komentar lebih jauh soal praktek mubahalah ini. Apakah. Apakah benar ini praktek yang dianjurkan dalam Islam? Meski saya sendiri tak bisa menjawab dengan pasti, saya cenderung memahami bahwa ayat 3:61 itu bukan berbicara soal masyru’iyyah-nya mubahalah. Paling jauh ayat 3:61 itu bicara soal satu hal, yaitu bahwa siapapun yang bohong dan tidak jujur dalam berdebat, semoga dilaknat Tuhan. Ayat 3:61 itu adalah ajakan untuk berdebat secara jujur, tidak memanipulasikan fakta/data sekedar untuk mendukung kesimpulan yang sudah “pre-set.” Itu pemahaman saya atas ayat 3:61. Mungkin saya keliru. Tapi berdasar sejarah Islam, praktek mubahalah tak lazim dalam debat pemikiran.