Siti Maryam dan Nabi Isa a.s.
Berkatalah Maryam, “Wahai Pemeliharaku! Bagaimana mungkin aku mempunyai seorang anak, padahal tak seorang laki-laki pun pernah menyentuhku?” Malaikat menjawab, “Demikianlah: Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki: manakala Dia menetapkan menjadikan sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, ‘Jadilah’ – maka, terjadilah ia!”
Saya akan mengulas ayat-ayat ini: 3:41-51. Sepuluh ayat dalam Surah Ali Imran ini masih berbicara tentang Siti Maryam dan Nabi Isa, terutama tentang mukjizat Nabi Isa semasa ia masih kanak-kanak. Seperti kita sudah simak pada pembahasan yang lalu, ayat-ayat pada bagian pertama Surah Ali Imran ini bicara soal keajaiban kelahiran dua sosok penting. Yang pertama adalah sosok Nabi Yahya atau Yohanes Pembaptis dan Nabi Isa alias Yesus Kristus. Kelahiran dua nabi ini penuh mukjizat. Kelahiran Nabi Yahya mengandung mukjizat, sebab ia dilahirkan dari ayah (Zakharia) yang sudah tua dan ibu (Elisabet) yang mandul. Sementara kelahiran Nabi Isa juga mengandung mukjizat, karena dilahirkan dari ibu tanpa ayah seperti disebutkan dalam ayat 3:47 ini.
Apakah benar Maryam mengandung Nabi Isa tanpa ayah, pertanyaan “saintifik” semacam ini tak relevan dalam kerangka faith-statement. Kelahiran yang penuh mukjizat dari sosok Nabi Yahya dan Nabi Isa hanya mau menegaskan prinsip keimanan pokok dalam agama: yaitu kekuasaan Tuhan. Tuhan dalam kerangka iman keagamaan dipahami sebagai Tuhan yang Maha Kuasa, termasuk kuasa untuk mengadakan hal-hal yang tak lazim menurut hukum alam.
Dengan keimanan tentang Tuhan yang Maha Kuasa ini, seorang beriman membangun suatu kehidupan yang penuh harapan, a life full of hope. Ayat-ayat yang lain dalam bagian yang sedang saya baca juga bicara soal mukjizat yang terjadi di tangan Nabi Isa saat kecil. Misalnya, ayat 3:49 bicara tentang mukjizat-mukjizat Nabi Isa: sembuhkan penyakit kusta, hidupkan orang mati, dan “mencipta burung” dari tanah liat. Mukjizat menyembuhkan penderita penyakit kusta dan menghidupkan orang mati dikisahkan juga dalam Injil kanonik. Misalnya Lukas: 17:1-19.
Mukjizat Nabi Isa/Yesus menghidupkan orang mati kita jumpai misalnya dalam Injil Lukas 7:15 Tetapi mukjizat Nabi Isa semasa kecil sama sekali tak kita jumpai dalam injil kanonik yang ada, yakni Injil Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Ada dua mukjizat Nabi Isa semasa masih kanak-kanak: yaitu berbicara saat masih bayi, dan menghidupkan tanah liat menjadi burung (3:46 dan 49). Mukjizat-mukjizat Yesus semasa kanak-kanak yang dikisahkan Quran ini memang tak dikisahkan dalam injil kanonik, tetapi ada dalam injil apokrif. Perbedaan antara injil kanonik dan apokrif: injil kanonik adalah yang diakui otentik oleh gereja. Injil apokrif dianggap palsu oleh gereja. Kalau mau disejajarkan dengan tradisi dalam Islam: injil kanonik adalah sejajar dengan hadis sahih; injil apokrif adalah hadis maudu’/palsu. Bagaimana bisa muncul dua jenis injil ini, silahkan membaca kembali buku Bart Ehrman (Lost Scriptures).
Mukjizat tentang Nabi Isa menghidupkan burung dari tanah liat semasa masih kanak-kanak ada dalam apa yang disebut Infancy Gospel of Thomas. Kalau di-indonesiakan, mungkin: Injil Kanak-Kanak Thomas. Maksudnya, Injil yang ditulis oleh Thomas tentang periode kanak-kanak Yesus. Hanya saja, injil Infancy Gospel of Thomas ini, oleh gereja, dianggap sebagai injil apokrif, palsu, tidak otentik. Karena itu dilarang beredar.
Yang menarik bagi saya adalah Muhammad Asad tampaknya kurang “sreg” dengan kisah-kisah mukjizat Nabi Isa ini. Dia coba membuatnya “rasional”. Mari kita simak bagaimana cara Asad melakukan “rasionalisasi” atas kisah-kisah mukjizat Nabi Isa ini. Menarik. Misalnya, kisah Nabi Isa menghidupkan burung dari tanah liat yang disebut dalam ayat 3:49, diterjemahkan sebagai berikut oleh Asad:
Dan, Dia akan mengajarkan kepada putramu wahyu, hikmah, Taurat, dan Injil. [QS Alu Imran: 49]
Menghidupkan “burung” dimaknai oleh Asad sebagai mengubah nasib. Dan dia menjustifikasi ini dengan keterangan sebagai berikut:
[Sesuatu] seperti bentuk seekor burung (thair); dan kemudian aku akan meniup ke dalamnya sehingga ia [atau kemudian ia akan] menjadi seekor burung…”. Nomina “thair” adalah bentuk jamak dari tha’ir (“makhluk yang terbang” atau “burung”), atau merupakan nomina infinitif (“terbang”) yang berasar dari verba thara (“dia telah terbang”). Dalam penggunaannya sebelum Islam, juga dalam Al-Quran, kata “tha’ir” dan “thair” sering bermakna “keberuntungan” atau “nasib”, yang baik maupun buruk (sebagaimana terdapat, misalnya, pada Surah Al-A’raf [7]: 131, Al-Naml [27]: 41, atau Yasin [36]: 19, dan lebih jelas lagi dalam Surah Al-Isra’ [17]: 13). Semua kamus bahasa Arab yang otoritatif mencantumkan banyak contoh penggunaan idiomatic tha’ir dan their ini; lihat juga Lane V, hh. 1904 dan seterusnya. Jadi, dengan menggunakan perumpamaan majasi yang sangat disukainya, Nabi Isa a.s. menunjukkan kepada Bani Israil bahwa (1) dari kehidupan mereka yang rendah-sederhana bagaikan tanah liat, dia ingin membuatkan bagi mereka suatu visi nasib kehidupan yang tinggi-luhur, dan (2) bahwa visi ini, yang dihidupkan oleh ilham-ilahinya, akan benar-benar menjadi nasib kehidupan mereka, berkat izin Allah dan berkat kekuatan iman mereka (sebagaimana ditunjukkan pada akhir ayat ini).
Begitu juga mukjizat Nabi Isa menghidupkan orang mati juga dimaknai oleh Asad secara metaforis/majazi, tidak secara harafiah. Simak penjelasan ini:
Boleh jadi bahwa tindakan Nabi Isa a.s. “menghidupkan orang mati” merupakan gambaran metaforis tentang tindakannya memberikan kehidupan baru kepada orang-orang yang telah mati secara spiritual; bdk. Surah Al-An’am [6]: 122 – lalu, apakah orang yang telah mati [semangatnya] dan yang Kami beri kehidupan setelah itu, dan yang Kami berikan kepadanya cahaya, yang dengan cahaya itu dia dapat melihat jalannya di antara manusia – [lalu apakah dia] serupa dengan [orang] yang [tersesat] di dalam pekatnya kegelapan, yang darinya dia tidak dapat keluar?” Jika penafsiran ini benar – sebagaimana yang saya yakini- “menyembuhkan orang buta dan yang berpenyakit kusta” mempunyai makna yang sama, yakni peremajaan (regenerasi) batin orang-orang yang sakit secara spiritual dan buta terhadap kebenaran.
Kecenderungan Asad untuk memahami fenomena mukjizat secara rasional ini sebetulnya dipengaruhi oleh Syekh Muhammad Abduh, sosok yang dia kagumi. Kita boleh setuju atau tak setuju atas pendekatan rasional Asad atas fenomena mukjizat ini. Tapi ini adalah pendekatan yang sah saja.
