QS. Alu ‘Imran: 26

Tafsir Muhammad Asad
— Oleh

Kekuasaan yang Semu dan Relatif 

Katakanlah: Wahai, Allah, Pemilik seluruh kekuasaan! Engkau anugerahkan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan mencabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki; Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki; Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu-lah segala kebajikan. Sungguh, Engkau berkuasa menetapkan segala sesuatu. [QS Alu ‘Imran: 26]

Ayat ini berbicara mengenai relatifnya sebuah kekuasaan, sebab kekuasaan itu bisa hilang kapan saja. Mari kita baca ayat 3:26 ini. Ayat yang relevan untuk para penguasa dan “power holder” pada umumnya.

Islam, dan saya kira juga semua agama, mengajak para penganutnya untuk menyikapi dunia ini, termasuk urusan kekuasaan, dengan cara ambil jarak. Agama mengajarkan bahwa kita tak boleh memutlakkan dunia. Ini sikap mental yang saya kira sehat. Ini bukan berarti sikap benci dunia. Bukan. 

Tak memutlakkan dunia hanya berarti, jangan sampai seluruh energi mental kita dihabiskan untuk memikirkan hal ini, mengabaikan hal-hal lain. Kekuasaan, dalam ajaran Quran, adalah milik Tuhan, bukan milik manusia. Tuhan bisa memberi atau mencabutnya kapan saja. 

Penegasan Quran bahwa kekuasaan itu milik Tuhan, bukan milik manusia, jangan disalah-artikan sebagai penentangan Quran atas demokrasi. Ayat-ayat Quran memang rentan disalah-pahami, termasuk ayat 3:26 ini. Ayat ini bisa saja dimaknai bahwa Quran menentang demokrasi. Sebab kekuasaan sebagaimana dimengerti oleh ayat 3:26 itu adalah milik Allah semata. Karena itu, rakyat tak punya kekuasaan. Demokrasi keliru. Cara pemahaman semacam ini ingin saya sebut sebagai “vulagiarisasi Kitab Suci”; Kitab Suci dipahami secara vulgar dan sembrono. Sekali lagi, makna ayat 3:26 tadi itu adalah ajakan agar kita memandang kekuasaan tidak secara absolut; ia bisa datang dan pergi kapan saja. Yang punya kekuasaan jangan menganggap bahwa kekuasaannya akan abadi; mereka para rakyat yang dikuasai juga jangan “menyucikan” mereka yang berkuasa. Bagi saya, ayat 3:26 ini justru semacam isyarat bahwa Islam dan demokrasi tak saling menegasikan. Bahkan bisa saling bersesuaian. Kenapa? Karena ayat ini mengajarkan ide tentang relativitas kekuasaan. Karena kekuasaan itu relatif, ia bisa disangkal jika diselenggarakan dengan keliru.

Penulis

Buletin ghazalia

Dapatkan info publikasi dan program Ghazalia College terbaru.