Kemestian Ajal
“Setiap manusia pasti akan merasakan mati: tetapi baru pada Hari Kebangkitan-lah kalian akan mendapat balasan sepenuhnya [atas apa saja yang telah kalian lakukan] – kemudian, orang yang akan dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga benar-benar memperoleh kemenangan: sebab, kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdaya-diri.” [QS Alu Imran, 3: 185]
Ayat 3:185 ini menegaskan fakta penting: kemestian ajal. Bahwa kematian adalah hal yang tak terhindarkan, semua orang tahu. Yang menjadi soal adalah: sikap kita semua atas kematian itu. Ayat 3:185 mengajarkan doktrin yang penting tentang kematian.
Pertama: ada kehidupan setelah mati; ada kebangkitan (qiyamah) setelah kita mati. Kedua: doktrin tentang orang yang beruntung: yakni bahwa keberuntungan yang sesungguhnya adalah keberuntungan dalam kehidupan kelak. Ketiga: doktrin bahwa kehidupan di dunia, dengan seluruh kegemerlapannya, adalah tipuan belaka (mata’ul ghurur). Dalam hal ini, Islam sebenarnya menyertai sikap hampir semua agama-agama yang lain di dunia tentang dunia: bahwa dunia saat ini bukan tujuan utama. Inilah perbedaan utama antara agama (dengan segala keragamannya) dengan filsafat dunia; keduanya punya cara pandang yang kontras. Agama melihat dunia sebagai fase antara saja ke kehidupan lain yang lebih sejati; sementara bagi filsafat dunia melihat dunia sebagai “an end in itself”.
Agama-agama melihat dunia bukan sebagai sistem tertutup yang cukup dengan dirinya sendiri, melainkan tergantung pada Tuhan sebagai “penjelas” dan “Sebab Utama”. Sementara filsafat dunia (terutama cabangnya yang materialistik/positivistik) melihat dunia sebagai “a self-contained system”, sistem tertutup. Maksudnya adalah: sistem yang bisa menjelaskan dirinya sendiri tanpa membutuhkan keterangan di luar dirinya. Mudahnya: tak butuh Tuhan.