QS. Alu ‘Imran: 169-180

Tafsir Muhammad Asad
— Oleh

Mati Syahid

Gaung Perang Uhud masih tampak dalam sebagian ayat-ayat ini. Tampaknya memang peristiwa Perang Uhud ini meninggalkan gaung dan pengarug yang luar biasa; tampak dalam banyak ayat yang membahas mengenainya. Seperti kita tahu, Perang Uhud ini terjadi pada tahun ke-3 setelah hijrah ke Madinah. Fondasi sosial masyarakat Islam masih rentan.

Bisa dibayangkan, betapa traumatisnya Perang Uhud itu: pertama, karena kekalahan di sana disebabkan kecerobohan orang Islam sendiri. Kecerobohan itu tampak dalam tindakan sejumlah pasukan pemanah meninggalkan pos mereka karena “pamrih duniawi”. Betapa fatal akibatnya. Kedua: kekalahan dalam Perang Uhud itu itu bisa mengancam eksistensi “proto-negara Madinah” yang masih sangat mudah. Bisa gagal. Membaca ayat-ayat di bagian menjelang ujung Surah Ali Imran ini menarik, karena tampak di sana refleksi mendalam tentang Perang Uhud dan pasca-Uhud.

Saya akan mulai dengan ayat 3:169, berisi semacam bantahan tentang konsepsi yang keliru tentang mereka yang gugur di jalan Tuhan (syahid/martir). Mari kita baca selengkapnya ayat 3:169 dan ayat-ayat sesudahnya:

“Namun, janganlah mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati. Tidak, mereka itu hidup! Di sisi Pemeliharanya, mereka memperoleh rezeki”. [QS Alu Imran, 3: 170]

Seorang yang gugur di jalan Tuhan, mereka tak mati. Mereka memang mati secara fisik, tapi “legacy” dan semangat mereka akan hidup terus. Dalam sebuah hadis, diriwayatkan bahwa jiwa seorang yang syahid ada dalam perut burung berwarna hijau (fi ajwafi thairin hudrin). Makna hadis tadi: jiwa seorang syahid di jalan Tuhan menikmati kebebasan, seperti burung yang terbang di angkasa. They are liberated spiritually.

Ayat 3:172 menarik, karena Asad memiliki pendapat yang beda tentang maknanya. Mari kita baca ayat ini:

“Mereka bersukacita dengan berita gembira tentang nikmat dan karunia dari Allah, dan [dengan janji] bahwa Allah tidak akan lalai memberi balasan kepada orang-orang yang beriman”. [QS Alu Imran, 3; 171]

Ayat 3:172 dan beberapa ayat sesudahnya, dalam tafsiran klasik, terkait dengan peristiwa pasca-Uhud: yaitu rencana Quraisy untuk menyerang kembali. Pasca-Uhud, terjadi kembali “perang kecil” antara pasukan Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan dan pasukan Nabi. Dikenal dengan Perang Badar Kecil. Ayat 3:172 berisi pujian dan apresiasi bagi mereka yang memenuhi panggilan Nabi untuk menjalani Perang Badar Kecil itu. Mereka dipujikan oleh Allah karena menjawab undangan Nabi untuk ikut perang kembali, padahal kenangan traumatis Uhud belum hilang sepenuhnya. Tetapi Asad punya tafsiran lain atas ayat-ayat ini. Baginya, ayat-ayat ini tak harus dibaca sebagai merujuk secara spesifik pada peristiwa pasca-Uhud itu. Bagi Asad, ayat-ayat ini sebaiknya dibaca secara umum: bahwa orang-orang yang mengikuti ajakan Nabi, walau dalam keadaan sulit, akan mendapatkan pahala. Ayat-ayat itu, bagi  Asad, mengajak sahabat Nabi untuk mengikuti seruan Nabi untuk berperang di jalan Allah, membela eksistensi masyarakat Islam. Kita tahu, ayat-ayat ini turun pada saat umat Islam masih dalam keadaan lemah; mereka baru membangun benih-benih “negara” di Madinah. Masih rentan. Benih-benih negara Madinah ini bisa “mati muda” jika tak ada semangat pengorbanan diri pada para sahabat Nabi untuk membelanya, hidup-mati. Mari kita baca tafsiran Asad atas ayat-ayat ini dan kritiknya atas kecenderungan pada mufasir klasik berikut ini:

“Setelah luka-luka menimpa mereka”. Mayoritas para mufasir berpendapat bahwa ini mengacu kepada kekalahan yang ditanggung kaum Muslim pada Perang Uhud. Namun, implikasinya mungkin lebih luas, terlebih karena ayat ini berkaitan langsung dengan ayat-ayat sebelumnya yang membicarakan, secara umum, para syuhada yang mati di jalan Allah. Ada suatu kecenderungan yang menonjol di kalangan mayoritas mufasir klasik untuk menggali makna-makna yang lebih dalam dari kisah-kisah historis yang tercantum dalam banyak ayat Al-Quran, yang mengungkapkan gagasan tentang maksud-maksud yang jauh lebih luas yang berlaku terhadap kondisi manusia itu sendiri. Ayat 172-175 merupakan sebuah contoh. Sebagian mufasir berpendapat bahwa ayat-ayat tersebut mengacu kepada ekspedisi ke Hamra Al-Asad yang gagal beberapa hari setelah Perang Uhud, sementara sebagian lainnya melihat ayat-ayat tersebut mengacu pada ekspedisi Nabi pada tahun berikutnya, yang dikenal dalam sejarah sebagai “Badar Kecil” (Badr Al-Sughra); sebagian lainnya lagi berpendapat bahwa ayat 172 mengacu pada ekspedisi pertama, dan ayat 173-174 pada ekspedisi kedua. Mengingat tidak adanya kesepakatan ini – karena tiadanya dukungan yang benar-benar otoritatif, baik dalam Al-Quran maupun hadis-hadis sahih, bagi asumsi-asumsi spekulatif ini – tiada salahnya apabila kita menyimpulkan bahwa seluruh ayat yang dibahas tersebut mengungkapkan suatu kesimpulan umumnya yang berkisar seputar Perang Uhud dan pelajaran yang harus dipetik dari perang tersebut.”

Inti kritik Asad di sini terarah pada kecenderungan mufassir klasik untuk melakukan “partikularisasi” ayat, mengaitkan pada konteks yang spesifik. Sementara  Asad menghendaki agar ayat-ayat Quran jangan terlalu dikaitkan dengan peristiwa spesifik pada zaman Nabi; tapi harus digeneralisir.

Penulis

Buletin ghazalia

Dapatkan info publikasi dan program Ghazalia College terbaru.