QS. Alu ‘Imran: 151-160

Tafsir Muhammad Asad
— Oleh

Kondisi Kebatinan Pasukan Nabi di Perang Uhud

Saya mulai dengan ayat 3:151; berbicara tentang kondisi kebatinan pasukan Quraisy yang berperang melawan Nabi. Ayat itu menegaskan: Allah menurunkan rasa takut pada pasukan Quraisy. Dengan jumlah mereka yang besar (1000an orang), mereka lemah secara moril.

Walau secara numerik pasukan Quraisy lebih besar, tetapi secara psikologis mereka lemah dan keropos. Karena mereka mengidap penyakit syirik. Kenyataannya memang demikian. Pada babak2 permulaan, pasukan Nabi sebetulnya sudah mulai unggul atas pasukan Quraisy. Keunggulan itu disebabkan sejumlah faktor: faktor taktik dan strategi, karena pasukan Nabi memilih tempat bertempur tepat. Juga karena faktor pertolongan Allah, seperti disebutkan dalam ayat 3:151 dan ayat-ayat sebelumnya: 3:124. Mari kita baca ayat 3:151 itu secara lengkap bersama terjemahan Asad berikut:

“Ke dalam hati orang-orang yang berkukuh mengingkari kebenaran akan Kami lontarkan rasa takut sebagai balasan karena mereka menisbahkan ketuhanan kepada wujud-wujud lain selain Allah –[sesuatu] yang tentangnya Dia sendiri tidak pernah menurunkan perintah apa pun; dan tujuan mereka adalah neraka – dan betapa buruk kediaman orang-orang zalim ini!” [QS Alu Imran, 3:151]

Seperti kita baca dalam sirah (biografi) Nabi, pasukan Nabi memang unggul dalam babak awal karena secara taktik mereka menguasi tempat yang strategis. Begitu merasa unggul, sebagian pasukan pemanah yang ada di atas bukit (yang dipesan Nabi supaya tetap di sana) turun bukit, meninggalkan pos. Mereka turun bukit untuk mengambil rampasan perang dari pasukan Quraisy yang berhasil mereka bunuh. Lalu pos di bukit kosong. Mereka turun bukit untuk mengambil rampasan perang dari pasukan Quraisy yang berhasil mereka bunuh. Lalu pos di bukit kosong. Kekacauan dalam barisan pasukan Nabi itulah yang disinggung dalam ayat 3:152.

“Dan, sunggguh, Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kalian ketika, dengan seizin-Nya, kalian nyaris menghancurkan musuh-musuh kalian – hingga tiba saatnya tatkala kalian putus asa dan bertindak berlawanan dengan perintah [Nabi], dan tidak patuh setelah Dia memperlihatkan kepada kalian [kemenangan] yang kalian rindukan. Di antara kalian ada yang menaruh perhatian pada dunia ini [saja], sebagaimana ada di antara kalian yanag menaruh perhatian pada kehidupan akhirat: kemudian, agar Dia dapat mengauji kalian, Dia mencegah kalian mengalahkan musuh-musuh kalian. Namun, sekarang Dia telah menghapuskan dosa-dosa kalian: Sebab, Allah tak terhingga dalam karunia-Nya kepada orang-orang yang beriman”. [QS Alu Imran, 3:152]

Ketika pamrih duniawi mulai merayap masuk dalam pikiran sebagian pasukan Nabi (pasukan pemanah di bukit Uhud), mulailah mereka kocar-kacir.

Ketika situasi kacau menerpa pasukan Nabi itulah, mulai muncul pikiran macam-macam pada sebagian pasukan Nabi. Mereka mulai berpikir negatif. Sebagian pasukan Nabi ada yang berpikir: andai kami diberikan pilihan bebas, tentu kami akan tinggal di rumah sj dan tak mati di medan perang. Melalui wahyu yang turun pada Nabi, pikiran negatif itu langsung dikoreksi oleh Tuhan, sebagaimana terbaca dalam ayat 3:154 ini. 

“Lalu, setelah kesengsaraan ini, Dia menurunkan kepada kalian rasa aman, suatu ketenangan batin yang melingkupi sebagian dari antara kalian; sedangkan yang lainnya, yang hanya memperhatikan diri mereka sendiri, mempunyai pikiran yang tidak benar tentang Allah – pikiran jahiliah- dengan berkata, “Jadi, apakah kita memiliki kekuasaan untuk member keputusan [dalam masalah ini]?”

Katakanlah: “Sungguh, seluruh kekuasaan untuk member keputusan itu ada pada Allah” –[namun mereka,] mereka berupaya menyembunyikan dalam hati mereka [kelemahan iman] yang tidak akan mereka nyatakan kepadamu [wahai Nabi,] dengan berkata, “Andai kami memiliki kekuasaan untuk member keputusan, kami tidak akan membiarkan begitu banyak orang mati.”

Katakanlah [kepada mereka]: “Kalaupun kalian berada di rumah kalian, orang-orang [di antara kalian] yang kematiannya telah ditetapkan akan tetap keluar menuju tempat-tempat di mana mereka ditakdirkan terkapar.”

Dan [semua ini menimpa kalian] agar Allah dapat menguji segala yang kalian pendam dalam dada kalian, dan menyucikan lubuk hati kalian dari segala kotoran: sebab, Allah Maha Mengetahui segala yang ada dalam kalbu [manusia]”. [QS Alu Imran, 3: 154]

Dengan keras Tuhan mengoreksi pikiran negatif mereka itu: Andai di rumah sekalipun, jika Tuhan berkehendak, kematian akan mendatangi mereka.

Lalu ayat 3:155 berbicara secara khusus dan mengkritik para pasukan pemanah yang meninggalkan pos mereka untuk merebut rampasan perang itu. Para pasukan pemanah yang “kemrungsung” ingin memperoleh ghanimah/salab itu sesungguhnya sedang digelincirkan oleh syetan.

“Perhatikanlah, adapaun sebagian di antara kalian yang berpaling [dari kewajiban mereka] pada hari ketika dua pasukan bertemu dalam peperangan – setan membuat mereka tergelincir tidak lain hanya melalui sesuatu yang mereka [sendiri] telah perbuat. Namun, kini Allah telah mengampuni dosa mereka ini: sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun”. [QS Alu Imran, 3: 155]

Asad memiliki catatan yang menarik mengenai ayat 3:155 ini. Baca catatan kaki no 117 di bawah ini:

“Ini merupakan suatu ilustrasi tentang doktrin Al-Quran yang sangat penting, yang dapat diringkas sebagai berikut: “Pengaruh setan” pada manusia bukanlah sebab utama dosa, melainkan akibat pertamanya: artinya, suatu akibat dari sikap mental seseorang yang, ketika krisis moral terjadi, membujuknya untuk mengambil pilihan yang lebih mudah, dan yang tampak lebih menyenangkan, di antara berbagai pilihan yang ada baginya sehingga ia berdosa, baik karena melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Karena itu, tindakan Allah yang “menyebabkan” seseorang melakukan suatu dosa bergantung pada adanya sikap mental, dalam individu yang bersangkutan, yang membuatnya cenderung melakukan dosa seperti itu: yang, pada gilirannya, mensyaratkan kehendak bebas manusia – yaitu: kemampuan memilih, dalam batas-batas tertentu, secara sadar antara dua atau lebih kemungkinan tindakan yang dapat diambil.”

Catatan Asad di atas secara implisit menunjukkan kecenderungan teologis Asad pada pandangan “free-will”, kebebasan kehendak pada manusia. Dengan catatan itu juga tampak secara tersirat bahwa Asad menolak pandangan teologis yang cenderung pada “predestinasi”; semuanya ditentukan Tuhan. Bagi Asad, berdasar pemahamannya atas ayat 3:155 itu, manusia punya kebebasan kehendak, yaitu berupa sikap mental yang ada pada mereka. Sikap mental itulah yang mendorong seseorang berbuat baik atau jahat. Semuanya tergantung pada predisposisi mental yang ada masing-masing orang. 

Ayat berikutnya, 3:157, menegaskan: jangan sampai pasukan Nabi memiliki sikap mental seperti pasukan Quraisy yang berpikir fatalistik.

“Dan, jika kalian benar-benar terbunuh atau mati di jalan Allah, tentu ampunan dari Allah dan rahmat-Nya lebih baik daripada segala yang dapat dikumpulkan seseorang [di dunia ini].” [QS Alu Imran, 3: 157]

Al-Quran menyebut sikap mental seperti itu sebagai “mentalitas jahiliyyah” (dzann al-jahiliyyah). Yaitu sikap mental yang menghindari tanggung-jawab. Inti sikap seperti itu adalah sebagai berikut: kalau aku tak berbuat begini, tentu aku akan terhindar dari akibat seperti itu. Ini sikap fatalistik. Mentalitas jahiliyyah: kalau kami tak ikut perang, pasti kami tak akan terbunuh di medan perang, dan bisa hidup dengan selamat. Mentalitas seperti itu membuat seseorang tak berani bertindak, membuat seseorang bersikap “mundur” dari tantangan. Mentalitas jahiliyyah itu kontras dengan mentalitas yang hendak diajarkan Al-Quran sebagaimana terungkap dalam ayat berikut ini (3:160):

“Jika Allah menolong kalian, tiada seorang pun dapat mengalahkan kalian; tetapi, andai Allah mengabaikan kalian, siapa yang dapat menolong kalian sesudah itu? Karena itu, kepada Allah-lah hendaknya orang-orang beriman bersandar penuh percaya!” [QS Alu Imran, 3: 160]

Menarik bahwa Nabi tak memarahi sahabat-sahabatnya yang punya sikap-sikap mental negatif itu. Nabi juga tak memarahi pasukan pemanah yang meninggalkan pos itu. Nabi memaafkan mereka semua dan bersikap lembut pada mereka. Sikap itu dipuji Allah sebagaimana tampak dalam ayat 3:159 ini:

“Dan, berkat rahmat Allah-lah, engkau [wahai Nabi] bersikap lemah-lembut terhadap para pengikutmu: sebab, andaikan engkau bersikap keras dan berhati kasar, mereka tentu akan menjauhkan diri darimu. Maka, maafkanlah mereka dan berdoalah agar mereka diampuni. Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan yang menyangkut kepentingan masyarakat umum; kemudian, jika engkau telah menetapkan langkah tindakan, bersandarlah penuh percaya kepada Allah: sebab, sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bersandar penuh percaya kepada-Nya”. [QS Alu Imran, 3: 159] 

Nabi juga tak menumpahkan dendam pada sejumlah pasukan yang membelot di tengah perjalanan ke bukit Uhud (pasukan kaum munafik). Nabi dipuji oleh Tuhan karena punya sikap yang lembut (soft-hearted, linta lahum), tak memiliki hati yang keras (hardened-heart, ghalidz al-qalb). Sebagai umat Nabi yang lembut hati, tentu kita umat Islam selayaknya meneladani sikap dan mentalitas beliau ini.

Penulis

Buletin ghazalia

Dapatkan info publikasi dan program Ghazalia College terbaru.