QS. Alu ‘Imran: 141-150

Tafsir Muhammad Asad
— Oleh

Ayat-ayat ini masih berkaitan dengan kisah kekalahan dalam Perang Uhud.

Sebagaimana saya ulas sebelumnya, kelalahan yang diderita pasukan Muslim dalam Perang Uhud meninggalkan trauma yang mendalam. Beberapa ayat dalam Surah Alu Imran ini turun sengaja untuk memberikan pelipur-lara bagi Nabi dan sahabatnya. Dalam ayat sebelumnya, 3:140, misalnya, Nabi dan sahabatnya dilipur oleh Tuhan dengan ajaran bahwa kalah-menang adalah giliran sejarah.

“Dan, Muhammad itu hanyalah seorang rasul; seluruh rasul [lainnya] telah berlalu sebelum dia: maka, jika dia wafat atau terbunuh, akankah kalian berbalik ke belakang (murtad)? Akan tetapi, siapa saja yang berpaling tidak dapat merugikan Allah sedikit pun – sedangkan Allah akan membalas semua orang yang bersyukur [kepada-Nya]”. [QS Alu Imran, 3: 144]

Dalam ayat berikutnya, 3:144, Tuhan mengajarkan konsep penting: bahwa Muhammad bukanlah Tuhan; ia manusia biasa yang bisa mati.

Mari kita baca keterangan Muhammad Asad tentang ayat 3:144 ini:

“Penekanan pada sifat manusiawi Nabi yang bisa mati ini – dan juga semua nabi lainnya yang telah mendahuluinya- pertama-tama berkaitan dengan Perang Uhud dan rumor tentang kematian Nabi, yang menyebabkan banyak kaum Muslim meninggalkan pertempuran dan bahkan membuat sebagian mereka nyaris murtad (Al-Thabari, lihat juga ulasan sebelumnya tentang sejarah Perang Uhud). Namun, implikasinya yang lebih luas, ayat tersebut menegaskan kembali doktrin Islam yang paling mendasar: bahwa ibadah itu dipersembahkan kepada Allah semata, dan bahwa tidak ada satu pun manusia –bahkan tidak pula seorang nabi sekalipun- memiliki hak untuk diibadahi. Ayat Al-Quran inilah yang dibaca Abu Bakar, khalifah pertama, segera setelah wafatnya Nabi, ketika banyak orang Muslim yang lemah hatinya menganggap bahwa Islam itu sendiri telah berakhir; tetapi, segera setelah Abu Bakar melanjutkan, “Perhatikanlah, siapa saja yang menyembah Muhammad, ketahuilah bahwa Muhammad telah mati; tetapi siapa saja yang menyembah Allah, ketahuilah Allah Mahahidup, dan tidak pernah mati” (Al-Bukhari), semua kekacauan terselesaikan”.  

Ayat tadi itu merujuk pada kejadian dalam Perang Uhud di mana, di tengah-tengah berkecamuknya perang itu, tersiar kabar Nabi terbunuh. Kabar itu membuat morale pasukan Muslim merosot dan beberapa sahabat nyaris meninggalkan medan; sesuatu yang manusiawi saat komandan gugur.

Ayat tadi dengan tegas menekankan aspek kemanusiawian Muhammad; tak ada sifat-sifat ketuhanan pada dirinya yang membuatnya bisa hidup abadi. Seperti dikisahkan Muhammad Asad, ayat 3:144 pernah dikutip sahabat Abu Bakar saat menyampaikan pidato “eulogy” saat wafatnya Nabi. Saat Nabi wafat, sahabat Umar nyaris tak percaya Nabi bisa mati, dan dia akan siap meninju siapa saja yang bilang bahwa Nabi meninggal. Melihat Umar dan sahabat-sahabat lain seperti hilang akal karena peristiwa wafatnya Nabi yang “shocking”, Abu Bakar naik podium dan berpidato. Abu Bakar menyampaikan pidato singkat yang memukau: Barangsiapa menyembah Muhammad, dia sudah mati; barangsiapa menyembah Tuhan, Dia abadi. Lalu Abu Bakar mengutip ayat 3:144 tadi itu. Saat mendengar ayat ini dikutip, Umar berkata bahwa dia seolah-olah baru mendengar ayat itu. Setelah pidato Abu Bakar yang singkat tapi “mak jleb” itu, Umar baru bisa menerima fakta bahwa Nabi telah meninggal. Dia legawa.

Ayat berikutnya, 3:145, menerangkan prinsip doktrinal yang penting: mati ada di tangan Tuhan, tak bisa dihindarkan.

“Dan, tiada seorang manusia pun dapat mati, kecuali dengan izin Allah, pada saat yang telah ditentukan sebelumnya. Dan, jika seseorang menghendaki imbalan dunia ini, akan Kami berikan kepadanya imbalan dunia; dan jika seseorang menghendaki imbalan kehidupan akhirat, akan Kami berikan kepadanya imbalan akhirat; dan Kami akan member balasan kepada orang-orang yang bersyukur [kepada Kami].” [QS Alu Imran, 3: 145]

Yang penting adalah sikap kita atas hidup dan mati: mau mencari “reward” (tsawab) di dunia sekarang, atau kehidupan abadi kelak. Dengan kata lain: kita punya dua pilihan; mau mencari “immediate gratification”, kepuasan yang instan, atau kebahagiaan jangka panjang. Doktrin tentang iman terhadap akhirat mengajarkan kepada seorang beriman tentang pentingnya kemampuan menunda kepuasan instan demi kebahagiaan abadi. Seorang beriman yang dikuasai oleh kepuasan instan/sesaat, jelas belum berhasil menginternalisir doktrin tentang iman terhadap hari akhir.

Dua ayat berikutnya, 3:146-147, berbicara tentang kilas balik sejarah: tentang nabi-nabi sebelum Muhammad yang juga menghadapi situasi perang.

“Dan, betapa banyak nabi yang harus berperang [di jalan-Nya], diikuti sejumlah besar orang yang berbakti kepada Allah: dan mereka tidak menjadi gentar karena semua derita yang menjadi lemah, atau menghinakan diri [di hadapan musuh], sebab Allah mencintai orang-orang yang sabar dalam menghadapi kesusahan; dan yang mereka katakana tidak lain hanyalah ini: “Wahai, Pemelihara kami! Dan, teguhkanlah langkah kami, dan tolonglah kami melawan orang-orang yang mengingkari kebenaran.” [QS Alu Imran, 3: 146-147]

Jelas bahwa ayat tadi itu merujuk kepada sejarah di masa bangsa Israel; mereka juga berkali-kali menghadapi situasi perang melawan kekuatan lebih besar. Ayat itu memuji kesabaran para nabi sebelum Nabi Muhammad yang tabah dan bertahan dalam perang melawan kekuatan yang lebih besar. Kalau kita baca sejarah bangsa Israel, kisah tentang ketabahan/kesabaran menghadapi kekuatan yang lebih besar tampak dalam kisah David vs Goliath. Goliath dalam Quran disebut dengan nama Jalut (جالوت) seperti disinggung dalam ayat 2:251. Kisah Daud melawan Jalut bisa dibaca di Kitab Samuel. Ada istilah yang menarik yang disebut dalam ayat 3:146, yaitu “ribbiyyun”. Istilah ini diperselisihkan maknanya di antara para penafsir klasik. Asad memaknai kata “ribbiyyun” itu sebagai: sejumlah besar orang yang berbakti kepada Allah.

Para penafsir klasik Quran berbeda pendapat tentang makna istilah “ribbiyyun” ini seperti diulas oleh Al-Razi dalam tafsirnya ini.

Yang jelas kata “ribbiyyun” ini mengingatkan kita pada istilah dalam komunitas Yahudi, yaitu rabi, istilah untuk menyebut ahli Hukum Torah. Apa pelajaran yang bisa kita tarik ayat-ayat ini? Bahwa kekalahan (dhi Perang Uhud) tak harus diratapi terus; tapi bisa menjadi bahan pelajaran. Ayat-ayat yang saya ulas pagi ini memperlihatkan tentang pentingnya sikap positif dalam menghadapi kekalahan, sehingga seorang beriman tak pesimis. Momen kekalahan dalam Perang Uhud menjadi momen “soul searching”, mawas-diri, bagi Nabi dan sahabat-sahabatnya.

Penulis

Buletin ghazalia

Dapatkan info publikasi dan program Ghazalia College terbaru.