“[Banyak] jalan hidup telah berlalu sebelum zaman kalian. Maka, berjalanlah ke muka bumi dan perhatikanlah apa yang akhirnya terjadi pada orang-orang yang mendustakan kebenaran”. [QS Alu Imran, 3: 137]
Ayat 3:137 berisi ajakan kepada umat Islam untuk tidak tenggelam dalam trauma kekalahan; mengajak untuk melihat sesuatu dalam perspektif besar. Ayat ini juga mengajak umat Islam agar melihat sejarah dari bangsa-bangsa yang telah lampau dan mengambil pelajaran dari sana.
Ayat berikutnya, 3:139, hendak membangkitkan moral umat Islam setelah peristiwa traumatis akibat Perang Uhud.
“Maka, janganlah gentar, dan jangan bersedih: sebab, kalian pasti akan bangkit Berjaya jika kalian [benar-benar] orang-orang yang beriman”. [QS Alu Imran, 3:139]
Ayat 3:140 berisi observasi tentang “hukum sejarah”: jika kalian mengalami “kekalahan” (qarhun), musuh kalian pun pernah mengalaminya. Ayat 3:140 memuat semacam observasi atas sejarah manusia secara umum: bahwa sejarah dipergilirkan antara bangsa-bangsa. Menang-kalah, bergiliran. Mari kita baca ayat yang berisi hukum sejarah yang menarik ini:
“Jika kemalangan menyentuh kalian, [ketahuilah bahwa] kemalangan serupa telah menyentuh orang-orang [lain] pula; sebab, Kami membagi-bagikan kepada manusia hari-hari [keberuntungan dan kemalangan] seperti itu secara bergiliran: dan [ini] agar Allah dapat membedakan orang-orang yang telah meraih iman, dan memilih di antara kalian yang [dengan kehidupan mereka] menjadi saksi terhadap kebenaran – sebab, Allah tidak menyukai orang-orang zalim”. [QS Alu Imran, 3: 140]
Ayat 3:142 berisi penegasan yang penting: tak ada iman yang gratis. Iman haruslah diuji dengan “jihad”, dengan perjuangan. Mari kita baca ayat itu:
“Adakah kalian mengira dapat masuk surga sebelum Allah mengetahui bahwa kalian sungguh-sungguh telah berjuang keras [di jalan-Nya], dan (sebelum) mengetahui bahwa kalian telah sabar dalam menghadapi kesusahan?” [QS Alu Imran, 3: 142]
Saya akan mengulas ayat berikutnya, 3: 143, dengan agak luas.
“Sebab, sungguh, kalian memang merindukan kematian [di jalan Allah] sebelum kalian menghadapinya; dan kini kalian telah menyaksikannya dengan mata kepala kalian sendiri!” [QS Alu Imran, 3: 143]
Ayat ini, menurut Zamakhsyari (penafsir klasik), adalah kritik atas sahabat Nabi. Menurut Zamaksyari, ayat 3:143 itu mengkritik para sahabat yang mengabaikan saran Nabi untuk tak melakukan perang terbuka, melainkan gerilya kota. Secara eksplisit, ayat 3:143 itu seperti menyalahkan sahabat-sahabat Nabi yang “nekat” mencari kematian dengan menempuh perang terbuka di padang pasir. Dengan jumlah mereka yang kecil, perang terbuka semacam itu adalah seperti bunuh diri bagi pasukan Islam. Itulah yang dikritik ayat 3:143 itu. Mari kita baca ayat 3:143 berikut komentar Asad atasnya:
“Dalam pandangan Al-Zamakhsyari, hal ini merupakan celaan ganda yang ditujukan kepada mayoritas Sahabat yang ikut serta dalam Perang Uhud. Pertama, karena tuntutan mereka, yang berlawanan dengan nasihat Nabi, untuk memerangi musuh di medan terbuka dan, dengan begitu, mengambil risiko kematian yang tidak perlu; dan kedua, karena kegagalan mereka mengamalkan keimanan mereka pada awal-awal peperangan sebelumnya. Ayat ini mungkin pula memiliki implikasi lain yang lebih positif: yakni, agar kaum Muslim mengambil pelajaran dari kekalahan yang nyaris mereka alami dan agar mereka ingat pada kenyataan bahwa masa depan mereka bergantung pada keteguhan iman mereka kepada Allah (bdk. Ayat 139) dan bukan pada keinginan yang tergesa-gesa untuk mengorbankan diri.”
Membaca ayat-ayat di atas ini, tampak sekali “nuansa” kesedihan di dalamnya, tetapi juga renungan reflektif tentang hukum sejarah. Prinsip penting yang hendak diajarkan Quran kepada para sahabat Nabi adalah berikut ini: bahwa sejarah dipergilirkan oleh Tuhan di antara bangsa-bangsa. Ada saatnya bangsa berada di atas, ada saatnya berada di bawah.
Tetapi ada hal penting yang diajarkan oleh ayat 3:140 tadi: umat Islam haruslah tegak menjadi saksi atas pergiliran sejarah bangsa-bangsa itu.
Apa makna umat Islam menjadi saksi sejarah? Maknanya adalah: umat Islam harus terus “vigilant”/awas dan belajar tentang sejarah.
Saya kira, di sinilah problem umat. Rasa sejarah dan kesadaran tentang pentingnya belajar sejarah lemah sekali saat ini di kalangan umat Islam. Yang menonjol saat ini adalah kecenderungan berpikir ideologis, dengan mengabaikan dimensi historis. Di tengah-tengah tekanan dominasi global yang menempatkan dunia Islam pada posisi inferior, godaan ideologisasi agama sebagai alat perlawanan sangat besar. Kelemahan kecenderungan ideologisasi adalah: mengabaikan sejarah, mengecilkan fakta-fakta empiris. Watak ideologi memang selalu menutupi realitas. Istilah “rasa sejarah” saya pinjam dari Soedjatmoko dalam makalahnya untuk (kalau tak salah) Kongres Sejarah Indonesia pertama di 1950an.