Refleksi Atas Perang Uhud
Saya akan mulai dengan catatan Asad yang menerangkan konteks turunnya ayat-ayat ini. Saya kutipkan secara lengkap:
“Paparan tentang Perang Uhud ini, yang tercantum dalam banyak surah ini, terkait dengan peringatan yang tersirat dalam ayat sebelumnya, “jika kalian sabar dalam menghadapi kesusahan dan sadar akan Allah, tipu daya mereka tidak akan merugikan kalian sama sekali”. Karena paparan dalam ayat inu, dan dalam ayat-ayat berikutnya, tidak dapat sepenuhnya dipahami tanpa mengetahui latar belakang sejarahnya, penjelasan singkat tentang perang itu perlu dikemukakan”.
Untuk membalas kekalahan besar mereka dalam Perang Badar pada tahun kedua Hijriah, kaum musyrik Makkah – yang didukung oleh sejumlah suku yang membenci kaum Muslim- pada tahun berikutnya mengerahkan pasukan yang terdiri dari sepuluh ribu orang di bawah komando Abu Sufyan dan bergerak menuju Madinah. Ketika mendengar kedatangan mereka, pada bulan Syawwal tahun 3 H, Nabi membentuk dewan perang untuk membahas taktik perang yang harus diambil. Mengingat sangat besarnya angkatan perang pihak musuh, Nabi sendiri berpendapat bahwa kaum Muslim harus berperang di dalam kubu pertahanan Madinah dan, jika perlu, berperang di jalan-jalan dan gang-gang sempit; dan rencana Nabi ini didukung oleh sebagian Sahabat terkemuka. Namun, mayoritas pemimpin Muslim yang berpartisipasi dalam musyawarah tersebut berkukuh untuk maju dan menghadapi musuh di medan terbuka. Untuk mematuhi prinsip-prinsip Al-Quran bahwa urusan public harus dilaksanakan berdasarkan keputusan yang disetujui bersama (lihat ayat 159 surah ini, juga Surah Al-Syura [42]: 38), dengan sangat sedih Nabi membuka jalan bagi kehendak mayoritas, dan bersama para pengikutnya bergerak menuju dataran di bawah Gunung Uhud, sekitar 5 kilometer lebih dari Madinah. Jumlah pasukan Nabi kurang dari seribu orang; tetapi, di tengah jalan menuju Gunung Uhud, angka ini semakin berkurang karena pembelotan sekitar tiga ratus orang yang dipimpin oleh si munafik Abdullah bin Ubayy yang berpura-pura yakin bahwa kaum Muslim sebenarnya tidak ingin berperang. Tak lama sebelum pertempuran, dua kelompok dari pasukan Nabi, yaitu Banu Salamah (dari suku Al-Aus) dan Banu Haritsah (dari suku Khazraj) hampir patah semangat dan berencana bergabung dengan pembelot (Surah Alu Imran [3]: 122) dengan dalih bahwa karena seikitnya jumlah mereka, kaum muslim seharusnya kini menghindari berperang; namun, pada akhirnya, mereka memutuskan mengikuti Nabi. Dengan jumlah tentara yang kurang dari tujuh ratus, Nabi menempatkan sebagian besar pasukannya membelakangi gunung dan menempatkan seluruh pemanahnya – yang berjumlah lima puluh orang- di suatu bukit yang dekat guna membendung setiap manuver pengepungan tentara musuh; para pemanah tersebut diperintahkan agar tidak meninggalkan tempatnya dalam keadaan apa pun. Selanjutnya, dengan serangan mematikan terhadap tentara unggulan kaum musyrik Makkah yang superior, kaum Muslim mendapat suatu keuntungan yang menentukan atas mereka dan nyaris mengalahkan mereka. Namun, pada saat itu, sebagian besar pemanah – yang yakin bahwa kemenangan telah diraih dan khawatir kalau-kalau mereka kehilangan bagian harta rampasan perang- meninggalkan posisi pertahanan mereka dan ikut menyerbu daerah sekitar perkemahan orang Quraisy. Melihat kesempatan ini, sebagian besar kavaleri Makkah di bawah komando Khalid bin Walid (yang tak lama setelah pertempuran ini memeluk agama Islam dan kemudian menjadi pertempuran ini memeluk agama Islam dan kemudian menjadi salah seorang jenderal Muslim terbesar sepanjang masa) berbelok arah dan menyerang kekuatan kaum Muslim dari arah belakang. Dengan hilangya perlindungan dari para pemanah, dan terperangkap di antara dua kekuatan, kaum Muslim mundur kocar-kacir dengan kehilangan banyak nyawa. Nabi sendiri dan sedikit Sahabat pendukung setianya mempertahankan diri mati-matian; dan Nabi mengalami luka serius dan terjatuh ke tanah. Teriakan pun segera bermunculan, “Rasulullah telah terbunuh!” Banyak kaum Muslim mulai melarikan diri; beberapa di antara mereka bahkan sudah siap-siap untuk menyerahkan diri pada belas kasih musuh. Namun, sebagian kecil Sahabat – di antaranya Umar bin Khaththab dan Thalhah- berseru, “Apa arti hidup kalian tanpanya, wahai kaum Mukmin? Mari kita mati seperti dia telah mati” –dan karena putus asa, nekat melawan orang-orang Makkah. Tindakan mereka itu segera memperoleh sambutan di kalangan Muslim lainnya, yang pada saat itu telah mendengar bahwa Nabi masih hidup: mereka bersatu kembali dan menyerang balik musuh sehingga terhindar dari kekalahan telak. Akan tetapi, kaum Muslim kali ini sudah terlalu lelah untuk memanfaatkan peluang mereka untuk meraih kemenangan. Pertempuran pun berakhir dengan seri, dengan musuh mundur ke arah Makkah. Pada hari berikutnya, Nabi memimpin 70 Sahabatnya untuk mengejar mereka. Namun, ketika kaum Muslim sampai ke suatu tempat yang bernama Hamra Al-Asad,sekitar 13 koilometer di sebelah selatan Madinah, jelaslah bahwa orang-orang Makkah itu tidak ingin mengambil risiko terjadi pertempuran lainnya dan segera kembali pulang; lalu, pasukan kecil Muslim itu kembali ke Madinah”.
Ada ujian besar dalam Perang Uhud ini. Pertama, jumlah yang asimetris. Jumlah pasukan Arab-Mekah 10 ribu, sementara jumlah pasukan Muslim 1000. Kedua, ada pembelotan dari 300 orang munafik dalam perjalanan menuju bukit Uhud di luar Madinah. Menurunkan morale pasukan Muslim. Ketiga, pembelotan orang-orang munafik itu nyaris membuat dua suku Madinah yang mendukung Nabi juga hampir ikut membelot seperti disinggung ayat 3:122. Dua suku itu: Banu Salamah dan Banu Haritsah. Mereka, melihat pembelotan orang-orang munafik, nyaris ikut membelot juga karena mengalami demoralisasi.
Dengan kata lain: pasukan Muslim pergi ke meran perang dalam kondisi yang tak solid karena ada masalah-masalah internal. Dalam situasi demoralisasi ini, tugas panglima perang tiada lain adalah satu saja: menggenjot morale pasukan segenjot-genjotnya. Penggenjotan moral pasukan oleh Nabi itulah yang dikisahkan dalam ayat-ayat berikut ini: 3:123-126.
“Sebab, sungguh, Allah telah menolong kalian di (Perang) Badar, ketika kalian benar-benar lemah. Maka, tetap sadarlah akan Allah, supaya kalian bersyukur. [Dan ingatlah] ketika engkau berkata kepada orang-orang beriman, “Tidak cukupkah bagi kalian [mengetahui] bahwa Pemelihara kalian akan diturunkan [dari langit]? Tidak, tetapi jika kalian sabar dalam menghadapi kesusahan dan sadar akan Dia, dan andai musuh tiba-tiba menyerang kalian, Pemelihara kalian akan menolong kalian dengan lima ribu malaikat yang menyambar ke bawah!” [QS Alu Imran, 3: 123-126]
Dalam ayat-ayat itu, diceritakan bahwa pasukan Muslim dengan jumlah kecil tak perlu berkecil hati karena disokong ribuan malaikat. Janji sokongan ribuan malaikat adalah cara menggenjot morale pasukan Muslim yang mengalami kondisi nyaris patah semangat saat ini. Yang menarik adalah cara Asad, mengikuti tokoh idolanya Imam Muhammad Abduh, memahami sokongan ribuan malaikat itu secara metaforis. Ia menegaskan:
“Sebagaimana terlihat jelas pada ayat berikutnya, tamsil yang disampaikan Nabi tentang pertolongan Allah bagi kaum Mukmin dengan beribu-ribu malaikat, secara metaforis menunjukkan keteguhan hati kaum Mukmin yang muncul melalui kekuatan spiritual yang datang dari Allah (Al-Manar IV, hh. 112 dst; dan IX, hh. 612 dst). Pernyataan serupa – yang terkait dengan Perang Badar – terdapat pada Surah Al-Anfal [8]: 9-10, yang di dalamnya “seribu” malaikat disebutkan. Angka yang bervariasi ini (seribu, tiga ribu, dan lima ribu) tampaknya menunjukkan hakikat pertolongan Allah yang tak terbatas bagi orang-orang yang “sabar dalam menghadapi kesusahan dan sadar akan Dia.” Masuk akal jika kita berpendapat bahwa Nabi, karena itu, mengobarkan semangat pengikutnya dan beberapa saat sebelum Perang Uhud, yaitu setelah tiga ratus orang di bawah pimpinan ‘Abdullah bin Ubayy meninggalkannya dan sebagian lainnya “hampir putus asa” menghadapi kekuatan musuh yang sangat unggul.”
Hasil akhir Perang Uhud nyaris fatal bagi kubu Islam. Pasukan Nabi hampir kalah karena kesalahan strategis yang dilakukan sebagian pasukan Nabi.
Di tengah-tengah kemelut perang itu, sempat tersiar kabar bahwa Nabi terbunuh, dan membuat pasukan Muslim nyaris kocar-kacir.Tetapi pasukan Nabi berhasil melakukan “re-grouping”, mencoba menaikkan semangat lagi, dan berhasil memukul balik pasukan Arab-Quraisy.
Nabi mengalami luka parah, dan terbaring di tanah. Saat itulah Nabi berdoa kepada Tuhan untuk menimpakan kutukan kepada pimpinan Quraisy.Tuhan melerai Nabi. Tugas mengazab atau mengampuni orang-orang kafir bukanlah tugas manusia. Itu hak prerogatif Tuhan. Itulah isi ayat 3:128-9.
“[Dan], tidaklah bijak bagimu [wahai Nabi] menetapkan apakah Allah akan menerima tibat mereka atau mengazab mereka – sebab, perhatikanlah, mereka itu tidak lain hanyalah orang-orang zalim, sedangkan milik Allah-lah segala yang ada di lelangit dan di bumi: Dia mengampuni siapa saja yang Dia kehendaki, dan Dia mengazab siapa saja yang Dia kehendaki; dan Allah Maha Pengampun, Sang Pemberi Rahmat”.
Kemarahan Nabi pada pasukan Quraisy yang nyaris mengalahkannya sangat manusiawi. Sehingga Nabi berdoa kepada Tuhan agar melaknat mereka.
Tetapi Allah segera mengingatkan kepada Nabi bahwa bukan hak manusia untuk mengazab atau menghukum orang-orang yang membangkang. Itu hak Allah. Di ujung “perikop” (unit narasi) tentang Perang Uhud ini tiba-taiba ada ayat yang bicara soal kecaman atas prakrek riba. Tampak kurang nyambung.
Saat ada ayat-ayat yang pada tilikan sekilas nampak kurang nyambung (munasabah) ini, tugas penafsirlah untuk menemukan munasabah-nya. Bagaimana munasabah/korelasi antara ayat-ayat perang dengan ayat berisi kecaman atas riba itu? Baca keterangan Asad berikut ini:
“Tentang kaitan antara ayat di atas dan masalah pokok yang dibahas dalam ayat-ayat sebelumnya, penjelasan terbaik, menurut saya, adalah yang dikemukakan oleh Qiffal (sebagaimana dikutip Al-Razi), sebagai berikut: Karena terutama melalui keuntungan ribawi-lah kaum musyrik Makkah memperoleh kekayaan yang memungkinkan mereka mempersenjatai pasukan yang kuat dan nyaris mengalahkan pasukan Muslim yang bersenjata seadanya di Uhud, umat Muslim mungkin tergoda untuk meniru musuh-musuh mereka dalam hal ini; dan untuk menjauhkan mereka maupun generasi Mukmin berikutnya dari godaan riba inilah, larangan terhadap riba ini sekali lagi ditekankan dengan turunnya wahyu ini”.
Terakhir, saya akan bahas soal penting berkaitan dengan Perang Uhud ini. Yaitu soal strategi perang apa yang mau ditempuh pasukan Muslim. Seperti diterangkan Asad (ulasan tentang cerita Perang Uhdu), Nabi beda pendapat dengan sahabat-sahabatnya soal strategi perang. Karena jumlah pasukan yang sedikit, Nabi menginginkan “perang gerilya kota”. Biarkan pasukan Quraisy masuk kota Madinah lalu disergap. Sebagian sahabat setuju dengan ide Nabi itu. Tapi mayoritas sahabat menghendaki “open warfare”, perang terbuka di padang pasir. Nabi tak mau ngotot dengan pendapatnya sendiri, mentang-mentang beliau adalah komandan. Nabi mengikuti kehendak mayoritas sahabatnya. Dengan kata lain, tak ada watak despotik pada diri Nabi. Watak Nabi adalah (dengan bahasa sekarang) demokratik — membuka diri pada konsultasi (syura).
Gaung Perang Uhud memang jauh sekali. Perang ini meninggalkan memori traumatis di kalangan sahabat Nabi, karena mereka nyaris kalah di sana. Beberapa ayat yang akan saya bahas ini berisi semacam refleksi atas kekalahan yang nyaris menimpa kubu umat Islam dalam Perang Uhud itu.