Akibat-Akibat Yang Menimpa Orang-Orang Yang Ingkar Pada Kebenaran Tuhan
Perhatikanlah, adapun orang-orang yang berkukuh mengingkari kebenaran – harta benda maupun keturunan mereka sedikit pun tidak akan berguna bagi mereka dalam menghadapi Allah; dan mereka itulah yang akan menjadi bahan bakar api neraka! [Terhadap mereka akan menimpa] hal serupa yang telah menimpa kaum Fir’aun dan orang-orang yang hidup sebelumnya: mereka disebabkan dosa-dosanya: sebab, Allah amat keras dalam menghukum. Katakanlah kepada orang-orang yang berkukuh mengingkari kebenaran: “Kalian pasti akan ditaklukkan dan digiring ke neraka – suatu tempat istirahat yang alangkah buruknya!” [QS Alu ‘Imran: 10-12]
Dalam dua ayat di atas dijelaskan bahwa orang-orang yang ingkar kepada Kebenaran Tuhan, harta dan anak-anak mereka tak bisa menolong mereka kelak di akhirat. Mereka juga akan ditimpa oleh azab yang pernah menimpa generasi Firaun dan kawan-kawan. Ini semacam hukum alam yang berlaku buat pengingkar Kebenaran Tuhan.
Bicara soal “azab” di era yang serba saintifik sekarang, mungkin akan terasa antik/kuno. Pengertian azab mungkin bisa kita maknai ulang. Azab di sini bisa kita maknai: konsekwensi alamiah dari tindakan-tindakan manusia yang mengabaikan pertimbangan-pertimbangan moral-etis.
Setiap aksi ada reaksi. Dalam Quran kita berjumpa banyak sekali dengan ayat-ayat yang berkisah tentang bangsa-bangsa terdahulu yang mengingkari Kebenaran Tuhan; lalu diazab. Struktur cerita Quran memberi kesan seolah-olah tindakan mengingkari Kebenaran Tuhan dan azab datang secara berurutan, dan cepat. Dari sana timbul kesan seolah-olah Tuhan dalam Quran (atau Torah) adalah Tuhan yang cepat murka. Ada bangsa membangkang; langsung kontan diazab.
Saya sendiri tak setuju dengan pemahaman yang seperti itu. Kita harus memahami secara mendalam moral dari cerita-cerita pengazaban semacam itu. Di balik kisah-kisah pengazaban semacam itu, sebetulnya Quran hendak menekankan dua hal.
Pertama, penggambaran tentang Tuhan yang bertindak adil. Kedua, setiap tindakan pembangkangan atas ajaran moral-etis-ketuhanan, akan membawa konsekwensi: kerusakan tata dan “order” (keteraturan). Tetapi tema tentang keadilan Tuhan ini adalah tema yang rumit; para teolog sejak dulu pun berselisih tentang hal ini. Juga kerepotan merumuskannya.
Quran menjelaskan tema keadilan Tuhan bukan melalui pembahasan teologis yang abstrak. Tapi dengan pendekatan naratif, kisah-kisah tentang bangsa-bangsa terdahulu. Sebab Quran memang bukan kitab teologi, filsafat, atau traktat ilmiah dengan bahasa kaum spesialis yang elitis. Al-Quran adalah kitab hidayah (petunjuk). Itulah yang menjelaskan kenapa baik Torah (atau kitab-kitab lain dalam Perjanjian Lama), Injil, dan Quran, berisi banyak kisah. Mereka adalah kitab-kitab naratif. Sebab narasi/kisah lebih bisa “relate”, berkomunikasi dengan orang-orang pada umumnya. Kisah juga menyentuh saraf “fantasia”/imajinasi manusia.