QS. Alu ‘Imran: 1-3

Tafsir Muhammad Asad
— Oleh

Alif. Lam. Mim. Allah – tiada tuhan kecuali Dia, Yang Hidup Kekal, Sumber Swamandiri dari segala wujud! Dia telah menurunkan kepadamu kitab Ilahi ini secara bertahap, menyatakan kebenaran yang mempertegas apa pun yang masih ada [dari wahyu-wahyu terdahulu], sebab, Dia-lah yang telah menurunkan Taurat dan Injil sebelumnya, sebagai petunjuk bagi manusia, dan Dia-lah yang menurunkan [kepada manusia] ukuran untuk membedakan yang benar dari yang salah. [QS Alu Imran: 1-3]

Ayat kedua dari Surah Alu ‘Imran ini menggambarkan konsepsi teologis tentang Tuhan dalam pandangan Quran. Tuhan digambarkan sebagai dzat yang Hidup dan Sumber Swamandiri. Istilah Swamandiri adalah terjemahan Asad atas kata “al-qayyum”. Self-Subsistent Fount of All-Beings. Saya sudah pernah membahasnya (Al-Baqarah: 255, tentang ayat kursi). Terjemahan Asad atas ayat 3:3 menarik. Yaitu ketika dia menerjemahkan kata “nazzala” dengan: menurunkan Kitab Ilahi secara bertahap.

Dalam ayat 3:3 itu dijelaskan bahwa Tuhan menurunkan Quran secara bertahap sebagai kitab yang mempertegas (mushaddiqan) wahyu-wahyu terdahulu. Karena Quran diturunkan secara bertahap, redaksi yang dipakai Quran adalah “nazzala”, bukan “anzala”. Asad mencoba menangkap nuansa semantik ini. Terjemahan versi Prof. Quraish juga mencoba menangkap nuansa semantik dalam kata “nazzala” ini. Nazzala: menurunkan secara berangsur-angsur. Tetapi versi Depag menerjemahkan kata “nazzala” ini sekedar “menurunkan” saja, tanpa ada keterangan “berangsur-angsur”. Saya kira, terjemahan kata “nazzala” yang menyertakan keterangan “secara berangsur-angsu” jauh lebih baik. Sebab kata nazzala memang beda dengan anzala.

Yang pernah ngaji sharaf (Arabic morphology/conjugation), pasti tahu, kata kerja yang mengikuti pola fa”ala (فعّٙل) memiliki makna khusus. Salah satu maknanya adalah untuk menunjukkan makna penggandaan (التكثير). Misalnya kata قطع (qatha’a) yang artinya memotong. Jika kata قطع (qatha’a) berubah menjadi قطّٙع (qath-tha’a), mengikuti pola fa’ala, maka maknanya menjadi: memotong dalam potongan yang banyak. Begitu juga kata nazzala (نزّٙل), maknanya: menurunkan sesuatu dalam unit-unit atau tahapan yang banyak, berkali-kali.

Sebelum pindah ke pembahasan ayat 3:7, saya mau menampilkan komentar Asad tentang relasi Quran dengan kitab-kitab yang datang sebelumnya, terutama tentang Bible. Demikian komentarnya:

Harus diingat bahwa Injil yang sering disebutkan dalam Al-Quran tidaklah identik dengan apa yang saat ini dikenal dengan Injil Empat (Al-Anajil Al-Arba’ah, yakni empat kitab pertama dalama Bibel Perjanjian Baru: Matius, Markus, Lukas, Yohanes), tetapi mengacu pada wahyu asli, yang kemudian hilang, yang diturunkan kepada Isa Al-Masih dan dikenal oleh orang-orang yang hidup pada masanya dalam bahasa Yunaninya dengan nama Evangelion (“Berita Gembira”), yang menjadi acuan bagi serapan bahasa Arabnya, Injil. Kemungkinan, ia menjadi sumber bahan dan ajaran Injil Sinoptik yang dinisbahkan kepada Al-Masih. 

Catatan Asad tadi itu memperlihatkan bahwa dia sebetulnya sangat sadar tentang perkembangan Biblical criticism di dunia akademis di Barat. Sekarang saya akan pindah ke ayat 3:7 yang sangat penting, tentang Quran yang dengan sadar mengomentari dirinya sendiri (self reflexive).

Penulis

Buletin ghazalia

Dapatkan info publikasi dan program Ghazalia College terbaru.