Pagi ini saya akan mengulas ayat-ayat terakhir dalam Surah Baqarah. Ayat pertama yang langsung menarik perhtian saya adalah 2:282. Ayat ini memerintahkan untuk mencatat transaksi hutang-piutang. Mari kira secara lengkap ayat 2:282 ini:
Secara garis besar, ayat ini memerintahkan agar hutang-piutang dicatat agar menghindarkan terjadinya sengketa di kemudian hari. Alasan etis utama yang melatari ajaran tentang pencatatan hutang-piutang ini tak lain adalah menjaga prinsip keadilan dan maslahah (common good). Sebagaimana kita tahu, dua prinsip ini, keadilan dan maslahat, adalah fondasi etis dari seluruh ajaran dan hukum Islam.
Sebagaimana pernah dikatakan oleh Ibn al-Qayyim (w. 1350) tentang prinsip maslahat: “الشريعة عدل كلها، ورحمة كلها، وحكمة كلها، ومصلحة كلها “. Syariat Islam itu, kata Ibn al-Qayyim, fondasinya adalah keadilan, rahmat dan maslahat.
Ajaran tentang pentingnya pencatatan transaksi perdagangan dalam Islam adalah manifestasi dari dua prinsip keadilan dan maslahat itu.
Pada zaman Nabi, aktivitas komersial masih belum berkembang secara “sophisticated“. Jadi praktek pencatatan hutang-piutang masih jarang. Ayat 2:282 ini seperti sebuah prediksi, bahwa cepat atau lambat kegiatan komersial manusia akan kian canggih dan maju. Cepat atau lambat, pencatatan dan dokumentasi kegiatan komersial menjadi tak terhindarkan. Dan itulah yang kita lihat dalam perkembangan Islam.
Ekonomi masyarakat Islam mula-mula bersandar pada apa yang disebut “booty economy“, ekonomi yang bersandar pada rampasan perang (era futuhat). Tetapi lama-lama kegiatan perdagangan mendominasi kegiatan ekonomi masyarakat Islam, selain pertanian.
Muhammad Asad punya komentar yang menarik soal status perempuan sebagai saksi dalam kegiatan komersial ini—dua perempuan setara dengan satu laki-laki. Di era “gender justice” saat ini, ajaran tentang perempuan yang statusnya sebagai saksi adalah separoh kesaksian laki-laki jelas akan jadi pertanyaan. Asad rupanya menyadari pertanyaan semacam ini. Karena itu dia menuliskan komentar seperti berikut. Baca catatan kaki no. 273
Dengan mengutip Muhammad Abduh, Asad menegaskan: kesaksian perempuan yang setara dengan separuh laki-laki itu hanya berdasar fakta sosial saat itu. Yakni saat ayat 2:282 ini turun pada Nabi. Kegiatan komersial saat ini didominasi laki-laki. Perempuan tak terlalu akrab dengan aktivitas bisnis. Karena konteks semacam itulah, kemudian kesaksian perempuan dinilai separoh dari kesaksian laki-laki.
Tetapi konteks bisa berubah. Sekarang, perempuan sudah terlibat aktif dalam aktivitas komersial secara umum. Jadi tak ada alasan lagi kesaksian mereka dinilai separuh dari laki-laki. Dengan pembacaan semacam ini, Asad sudah menggunakan/memperkenalkan pemahaman Quran secara kontekstual. Kiblat dia dalam hal ini: Muhammad Abduh.