QS Al-Baqarah: 261-270 Tafsir Infaq dan Sedekah

Tafsir Muhammad Asad
— Oleh

Infaq dan Sedekah

Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah bagaikan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, dalam setiap bulir terdapat seratus benih: sebab, Allah memberikan tambahan yang berlipat ganda bagi siapa saja yang Dia kehendaki; dan Allah Maha Tak Terhingga, Maha Mengetahui. [QS Al-Baqarah: 261]

Analogi yang bersifat agraris ini sangat bisa dipahami karena ekonomi agraris sangat dekat dengan bangsa Arab pada abad ke-7 M saat itu. Pesan yang hendak disampaikan oleh ayat 2:261 ini ialah: sedekah atau infaq tak mengurangi hak milik kita; justru akan membuatnya berlipat-ganda.

Tapi tak semua kegiatan sedekah/infaq dipujikan oleh Quran. Hanya sedekah yang memenuhi syarat tertentu seperti disinggung ayat 2:262 dan seterusnya. Sedekah yang dipujikan Quran ialah yang memenuhi dua syarat: tak disertai dengan “al-mann” dan “al-adza”. Al-mann diterjemahkan oleh Asad sebagai: menonjolkan kebajikan sendiri. Kalau di pesantren Jawa, kata tersebut sering diterjemahkan dengan: ngundat-ngundat. Ngundat-ngundat maksudnya: menyebut-nyebut terus sedekah kita kepada orang lain dengan tujuan ingin meminta balas budi. Sementara al-adza diterjemahkan Asad sebagai: menyakiti perasaan fakir-miskin (hurting the feeling of the needy). Sedekah yang dipujikan oleh Quran ialah yang tak disertai dengan sikap-sikap buruk seperti menyinggung-nyinggung terus sedekah itu sambil menyakiti hati si fakir. Sebenarnya ini mengajarkan satu hal: pada akhirnya tindakan baik kita hanya bisa diterima Tuhan jika disertai dengan niat yang tepat. Sedekah yang disertai dengan “ngundat-ngundat” terus atau menyakiti hati si miskin menandakan bahwa niat kita “misheaded”, keliru sasaran. Niat seseorang dalam bertindak baik menentukan kualitas tindakan itu. Bahkan dalam kaidah fikih disebutkan: نية المؤمن خير من عمله . 

Arti kaidah itu ialah: niat seorang beriman lebih baik daripada tindakannya sendiri. Niat sangat penting kedudukannya dalam Islam. Quran menggunakan analogi lain yang menarik untuk menjelaskan perbandingan antara penyedekah yang ikhlas dan tidak. Penyedekah yang ikhlas dan tak ikhlas digambarkan Quran dalam parabel atau analogi seperti ini: baca ayat 2:264-265.

“Wahai orang-orang yang telah meraih iman! Janganlah menghilangkan nilai sedekah kalian dengan menonjolkan kebajikan kalian sendiri dan menyakiti [perasaan fakir-miskin], seperti orang yang menafkahkan hartanya hanya agar dilihat dan dipuji oleh manusia, dan tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir: sebab, perumpamaan baginya adalah seperti batu licin dengan (sedikit) tanah di atasnya – kemudian hujan lebat menimpanya dan membuatnya keras dan gundul. Orang-orang seperti ini tidak akan memperoleh hasil apa pun dari semua pekerjaan (baik) mereka: sebab, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang menolak dan mengakui kebenaran. Dan, perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya karena kerinduan akan ridha Allah dan karena keteguhan batinnya adalah seperti sebuah kebun di dataran yang tinggi dan subur: hujan lebat menimpanya, lalu kebun itu menghasilkan buah dua kali lipat; dan jika bukan hujan lebat yang menimpanya, hujana gerimis [tercurah ke atasnya]. Dan, Allah Maha Melihat segala yang kalian kerjakan.” [QS Al-Baqarah: 264-265]

Al-Quran adalah Kitab Suci dengan karakter yang menarik. Antara lain ia mendaya-gunakan secara massif analogi, parabel, tamsil, dan sebagainya. Analogi-analogi ini dipakai Quran selain untuk “make a point”, memperjelas keterangan, juga untuk mendorong agar seseorang berpikir (QS 21:59). Pada ayat 2:268 terdapat keterangan yang menarik tentang orang-orang yang takut membagi hak milik mereka dengan orang lain. Mari kita baca:

“Setan mengancam kalian dengan kemungkinan menjadi miskin dan mengajak kalian menjadi kikir, sedangkan Allah menjanjikan kepada kalian ampunan dan karunia-Nya; dan Allah Maha Tak Terhingga, Maha Mengetahui.” [QS Al-Baqarah: 268] 

Ketakutan akan menjadi miskin adalah perasaan yang manusiawi. Dalam kadarnya yang wajar, kecemasan ini bernilai positif. Kecemasan akan jatuh miskin adalah bagian dari instink-instink alamiah manusia untuk bertahan dari kepunahan (survival). Tetapi kecemasan akan jatuh miskin yang berlebihan sehingga menghalangi kita untuk bertindak “charitable”, dermawaan, itu yang dikritik Quran. Lalu, pada ayat 2:269 kita jumpai penegasan yang sangat “eye opening”, membuka mata kita. Mari kita baca:

“(Dia) memberikan hikmah kepada siapa saja yang Dia kehendaki: dan siapa saja yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kekayaan yang melimpah. Namun, tak seorang pun mengingatnya, kecuali orang-orang yang dianugerahi pengetahuan yang mendalam”. [QS Al-Baqarah: 269] 

Sesiapapun yang diberikan ilmu hikmah, ia akan mendapatkan keberuntungan yang besar. Saya memaknai hikmah di sini dalam pengertian ilmu laku. Yang saya maksud: ilmu yang kita peroleh karena pengalaman riil dalam tindakan. Setiap tindakan pasti membawa pengalaman/ilmu baru. Karena ayat soal hikmah ini disisipkan di tengah-tengah pembahasan soal perintah bersedekah, maka maksud ayat ini tampaknya ialah ilmuntukpengertian yang kita peroleh dari tindakan bersedekah. Jika kita bersedekah, maka ada sejumlah ilmu baru yang akan kita peroleh. Itulah yang tampaknya dimaksudkan hikmah di sini. Hikmah atau pengalaman yang kita peroleh karena kita bersedekah.

Bicara tentang sedekah dan hikmah yang akan lahir dari sana, saya akan cerita tentang Gus Mus. Beliau punya pengalaman “spiritual” soal sedekah ini. Beberapa waktu yang lalu Gus Mus bercerita saat kami sarapan di daerah Cibubur soal pengalaman bersedekah ini. Dulu, kata Gus Mus, saat masih muda, saya getol mengejar dunia, dengan “nyambut gawé” ini dan itu. Ttapi dunia malah lari dari saya. Saya “nyambut gawé” (bekerja/berdagang), tapi rugi terus. Akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan dunia, kata Gus Mus. Saya, kata Gus Mus, tak lagi peduli dunia. Saya membaktikan untuk dakwah dan menyebarkan ilmu saja. Eh, dunia malah “lengket” dengan saya. Karena saya tak takut dunia, saya “brah-bréh” (mudah memberi apa saja) pada orang lain. Setiap saya memberi, pasti Tuhan akan mengganti. Itulah pengalaman Gus Mus. Pengalaman itulah mungkin yang dimaksud dengan hikmah dalam ayat 2:259.

Penulis

Buletin ghazalia

Dapatkan info publikasi dan program Ghazalia College terbaru.