QS Al-Baqarah: 255 Tafsir “Ayat Kursi”

Tafsir Muhammad Asad
— Oleh

Tafsir Ayat Kursi

Al-Baqarah: 255 Ini merupakan ayat yang populer di semua dunia Islam sebagai ayat kursi.

“Allah – tiada tuhan kecuali Dia, Yang Hidup kekal, Sumber Swamandiri dari segala wujud. Tiada mengantuk maupun tidur, Kepunyaan-Nya-lah segala yang ada di lelangit dan segala yang ada di muka bumi. Siapakah yang dapat memberi syafaat bersama-Nya, kecuali dengan izin-Nya? Dia mengetahui segala yang terbentang di hadapan manusia dan segala yang tersembunyi dari mereka, sedangkan mereka tidak mampu meraih apa pun dari ilmu-Nya kecuali yang Dia kehendaki [untuk mereka raih]. Kekuasaan-Nya yang abadi meliputi lelangit dan bumi, dan pemeliharaan terhadap keduanya tiada melelahkan-Nya. Dan, hanya Dia Yang Mahatinggi, Mahaagung.” [QS Al-Baqarah: 255]

Bagi warga NU, ini ayat yang spesial. Ayat Kursi ini berisi salah satu gagasan teologis Islam yang sangat penting.

Pertama, gagasan tauhid, Allah Yang Esa. Allah Yang Hidup.

Allah juga digambarkan dalam Ayat Kursi itu sebagai “al-qayyum” (القيوم) yang oleh Asad diterjemahkan secara menarik sebagai ” Self-Subsistent Fount”. Terjemahan Mizan atas terjemahan Asad ini juga menarik: Sumber Swamandiri. Allah sebagai Sumber Yang Swamandiri. Saya suka terjemahan ini.

Versi Depag menerjemahkan “al-qayyum” dengan: Yang terus-menerus mengurus (makhluk-Nya). Versi terjemahan Prof. Quraish juga sama. Kata “al-Qayyum” diterjemahkankan sebagai “yang terus-menerus mengurus makhluk-Nya”. Baik terjemahan Depag maupun Prof. Quraish tampaknya merujuk pada tafsiran yang ada di Tafsir Jalalain ini yang dimana Imam As-Suyuthi menafsirkannya dengan “Al-Mubaligh bil-Qiyam fi Tadbiri Khalqihi”.

Saya sendiri lebih suka terjemahan Asad. “Al-Qayyum” lebih baik diterjemahkan sebagai “Self-Susbistent”, yang Maha Mandiri, tak butuh yang lain. Ingat kan salah satu sifat Tuhan dalam Islam adalah “qiyamuhu bi-nafsihi”? Maksudnya: Tuhan Yang Berdiri Sendiri, tak butuh yang lain.

Al-Qayyum dan Qiyamuhu bi-Nafsihi adalah sifat yang sama. Jadi menurut saya, terjemahan Asad lebih baik. Terjemahan Abdullah Yusuf Ali juga sama. Al-Qayyum diterjemahkan sebagai: Self-Subsisting.

Yang menarik, Ayat Kursi yang berbicara soal konsepsi tauhid ini langsung diikuti dengan ayat lain yang bicara soal tak adanya paksaan dalam hal agama. Ayat 2:256 yang terletak persis setelah Ayat Kursi mendeklarasikan prinsip yang penting dalam Islam: La ikraha fid-din. Tak ada paksaan dalam agama. Berikut terjemahan Asad atas ayat 2:256 : 

“Tidak boleh ada paksaan dalam urusan keyakinan. Kini, telah jelas jalan yang benar dari [jalan] yang sesat: karena itu, orang yang menolak kuasa-kuasa jahat dan beriman kepada Allah, sungguh, telah berpegang erat kepada sandaran yang amat kukuh, yang tidak akan pernah roboh: sebab, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui”. [QS Al-Baqarah: 256-257] 

Dan ini komentar atas ayat tersebut:

Istilah din (faith, keyakinan) menunjukkan baik kandungan dari maupun ketaan terhadap hukum yang secara moral mengikat; jadi, istilah tersebut menunjukkan “agama” (religion) dalam maknanya yang luas, yang meliputi seluruh kandungan doktrinal dan implikasi praktis, termasuk sikap manusia terhadap obyek sembahan, sehingga meliputi pula konsep “keyakinan” (faith). Terjemahan din menjadi “agama” (religion), “keyakinan” (faith), “hukum agama” (religious law), atau “hukum moral” (moral law) bergantung pada konteks istilah ini digunakan.

Berdasarkan ayat di atas yang secara tegas melarang pemaksaan (ikrah) apa pun yang berkaitan dengan keyakinan atau agama, seluruh ahli hukum Islam (fukaha), tanpa kecuali, berpendapat bahwa pindah agama karena paksaan dalam kondisi apa pun tidaklah sah dan batal, dan bahwa upaya apa  pun untuk memaksa orang yang tidak beriman agar memeluk agama Islam merupakan suatu dosa besar: suatu keputusan yang membuktikan kelirunya anggapan bahwa Islam memberi pilihan “masuk Islam atau pedang” kepada orang yang tidak beriman.

Dalam ayat 2:256 ini juga kita jumpai istilah “thaghut“—istilah yang sangat populer di kalangan Islam garis keras dan pengikut ISIS. Istilah “thaghut ini diterjemahkan Asad sebagai: kuasa-kuasa jahat”. Menarik!

Di kalangan mufasir klasik ada perbedaan pendapat soal makna thaghut ini. Ada yang memaknainya: setan, tukang sihir, dukun, jin, dan lain-lain.

Penulis

Buletin ghazalia

Dapatkan info publikasi dan program Ghazalia College terbaru.