Dan, nabi mereka berkata kepada mereka, “Perhatikanlah, tanda bagi kekuasaannya [yang sah] adalah bahwa kalian akan dianugerahi hati yang oleh Pemelihara kalian dipenuhi dengan ketenangan batin dan segala yang tersisa dalam ‘warisan yang dibawa malaikat’ yang ditinggalkan oleh keluarga Musa dan Harun. Perhatikanlah, di sini benar-benar terdapat suatu tanda bagi kalian jika kalian [benar-benar] beriman”.
Yang menarik: terjemahan Asad atas kata “tabot” (التابوت) dalam ayat 2:248, ketika berkisah tentang sosok Samuel. Tabot ia terjemahkan sebagai “hati”. Ini terjemahan yang buat saya agak “janggal” dan keluar dari tradisi penerjemah sebelumnya. Terjemahan ini juga sekaligus “nekat”.
Saya akan sebutkan terjemahan-terjemahan atas kata “tabot” ini dalam versi-versi yang lain: versi Depag, Prof. Quraish, Abdullah Yusuf Ali dan Pickthall. Ini terjemahan versi Depag atas kata “al-tabut” atau tabot:
“Dan nabi mereka berkata kepada mereka, “Sesungguhnya tanda kerajaannya ialah datangnya Tabut (peti tempat penyimpanan Taurat) kepadamu, yang di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun, yang dibawa oleh malaikat.” Sungguh, pada demikian itu terdapat tanda (kebesaran Allah) bagimu, jika kamu orang beriman”.
Ini versi Prof. Quraish: “al-tabut” diterjemahkan sebagai tabut saja dengan keterangan dalam catatan kaki no. 70.
“Bani Israil memunyai Tabut, yaitu sebuah peti yang selalu menyertai mereka setiap kali berperang. Dalam suatu peperangan, peti itu dirampas oleh musuh mereka. Konon isinya adalah “lauh” (papan) yang berisikan tulisan sepuluh ayat (The ten commandments), tongkat Nabi Musa as. dan beberapa pakaian leluhur mereka”.
Sekedar selingan: Membaca terjemahan Quran yang dikerjakan Muhammed Marmaduke Pickthall mengingatkan kita pada Bible versi King James. Keduanya memakai bahasa Inggris yang antik, bahasa Inggris era William Shakespeare. Asyik sebetulnya. Kitab Suci memang kadang harus diterjemahkan dengan bahasa yang klasik, Sebab ada dimensi “klasisisme” dalam semua Kitab Suci, termasuk Quran.
Kembali soal terjemahan Asad atas kata “al-tabut” (tabot) ini, preferensi terjemahan dia, menurut saya, sangat berani/nekat. Asad menerjemahkan kata “al-tabut” (tabot) dengan “hati” (heart); bersandar pada pendapat linguis besar Zamakhsyari dalam kitab Asas al-Balaghah. Asad tahu benar terjemahannya ini melawan “arus umum” karena itu dia membuat catatan kaki berikut ini (nomor 239).
“Bahwa akan datang kepada kalian hati”. Kata “tabut” – yang di sini diterjemahkan ‘hati’- biasanya ditafsirkan sebagai Peti Perjanjian yang disebutkan dalam Perjanjian Lama, yang konon merupakan peti atau kotak penuh hiasan. Penjelasan yang ditawarkan oleh kebanyakan mufasir yang memilih makna terakhir ini sangat kontradiktif, dan sepertinya didasarkan pada legenda Talmud yang bercerita seputar “peti” tersebut. Namun, sejumlah ahli paling terkemuka memaknai ‘tabut’ juga sebagai “dada” atau “hati”: demikianlah pendapat Al-Baidhawi dalam salah satu alternatif ketika ia menafsirkan ayat ini, juga Al-Zamakhsyari dalam karyanya “asas” (meskipun tidak dalam Kasysyaf), Ibn Atsir dalam Nihayah, Raghib, dan Taj Al-‘Arus (dalam empat kitab terakhir ini, lihat entri tabata); lihat juga Lane I, h. 321, dan IV, h. 1394 (entri sakinah). Jika kita mengambil makna ini sebagai arti tabut dalam konteks di atas, istilah itu menggambarkan perubahan hati Bani Israil (perubahan ini telah ditunjukkan, secara umum, dalam ayat 243). Sejalan dengan sebutan berikutnya tentang “ketenangan batin” dalam tabut, terjemahan “hati” tentu lebih tepat daripada “peti”.
Kenapa Asad seperti menghindar sekuat tenaga, dengan mencari-cari alasan yang bagi saya kurang kuat, untuk menerjemahkan “al-tabut” dengan “tabot”? Saya menduga alasannya adalah: walau Asad adalah seorang Yahudi (muallaf), tapi dia tak suka jika Quran terlalu banyak dikaitkan dengan Torah. Quran, bagi Asad, harus dipandang sebagai Kitab Suci yang “standing on its own” tanpa dihubung-hubungkan dengan kisah-kisah dalam tradisi Yahudi (Talmud).
Dalam salah satu komentarnya atas ayat 2:243, Asad melancarkan kritik atas kebiasaan sebagian mufasir klasik yang gemar merujuk pada kisah-kisah Talmud. Baca komentar Asad dalam catatan kaki nomor 232 ini:
“Nah, baik Al-Quran maupun hadis sahih tidak memberikan isyarat sedikit pun tentang siapa orang-orang yang dimaksudkan pada ayat ini. Penjelasan “sejarah” yang dikemukakan oleh sejumlah mufasir mengandung banyak kontradiksi; penjelasan tersebut nampaknya diambil dari kisah-kisah Talmud yang beredar pada saat itu dan tidak dapat digunakan dalam konteks ini dengan justifikasi apa pun.”
Sikap Asad yang keras menolak mengait-ngaitkan Quran dengan kisah-kisah Talmud (Israiliyyat) ini sangat menarik. Sikap yang terasa agak “salafi”.