Hubungan Suami-Isteri dan Gugatan Cerai Istri
Istri-istri kalian adalah lading kalian; maka, datangilah lading kalian itu sekehendak kalian, tetapi pertama-tama persiapkanlah sesuatu bagi jiwa kalian, dan tetaplah sadar akan Allah, dan ketahuilah bahwa kalian ditakdirkan menemui-Nya. Dan, berikanlah kabar gembira kepada orang-orang beriman. [Al-Baqarah: 223]
Dalam menafsirkan ayat ini (khususnya ayat waqaddimuu lianfusikum), Asad berpendapat:
Dengan kata lain, hubungan spiritual antara laki-laki dan perempuan ditegaskan sebagai dasar mutlak hubungan seksual.
Dengan kata lain, menurut Asad, walau suami boleh berhubungan badan dengan istrinya dengan cara apapun, tapi hubungan spiritual harus jadi landasannya. Dengan kata lain, bagi Asad: bahwa mentang-mentang suami punya “hak seksual” atas isteri, tetapi hubungan seksual yang dipaksakan jelas tak boleh.
Isu terakhir yang hendak saya bahas adalah soal hak yang diberikan Islam kepada isteri untuk bisa menuntut perceraian. Dibahas dalam ayat 2:229. Hak ini yang dalam hukum Islam disebut dengan khulu’. Yaitu hak bagi isteri untuk menuntut perceraian dari suaminya dengan mengembalikan mahar.
Selama ini, hak cerai selalu dipahami ada pada suami. Tetapi hukum Islam, sejak awal, memberi hak pada isteri untuk menuntut cerai. Jika isteri menuntut cerai dengan alasan-alasan yang bisa diterima, maka dia harus mengembalikan mas kawin kepada suaminya.
Ada beda pendapat di kalangan ulama fiqh tentang kedudukan cerai-khulu’ ini, apa masuk kategori talak biasa atau fasakh/pembatalan kontrak. Saya tak akan bahas detil soal perbedaan ini.