QS Al-Baqarah: 221

Tafsir Muhammad Asad
— Oleh

1) Soal larangan nikah dengan orang-orang musyrik; (2) Soal karakter hubungan antara suami-isteri menurut Quran; (3) dan terakhir soal hak perempuan untuk menuntut talak (khulu’).

“Dan, jangalah menikahi perempuan-perempuan yang menisbakan ketuhanan kepada apa pun selain Allah sebelum mereka meraih iman [yang sejati]: sebab, setiap hamba perempuan yang beriman [kepada Allah] pasti lebih baik daripada perempuan yang menisbahkan ketuhanan kepada apa pun selain Allah, meskipun dia sangat menyenangkan kalian. Dan, janganlah menikahkan perempuan-perempuan kalian kepada apa pun selain Allah sebelum mereka meraih iman [yang sejati] sebab, setiap budak laki-laki yang beriman [kepada Allah] pasti lebih baik daripada laki-laki yang menisbahkan ketuhanan kepada apa pun selain Allah, meskipun dia sangat menyenangkan kalian. [Yang seperti ini]  mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan [diraihnya] ampunan dengan izin-Nya; dan Dia menjelaskan pesan-pesan-Nya kepada manusia supaya mereka mengingatnya. [QS Al-Baqarah: 221]

Asad menafsirkan kata “amah” dalam ayat di atas seperti berikut:

“Meskipun kebanyakan mufasir mengartikan istilah “amah”, yang terdapat dalam konteks ini, dengan “budak perempuan”, sebagian di antara mereka berpendapat bahwa istilah itu di sini berarti “hamba perempuan Allah”. Karena itu, Al-Zamakhsyari mengartikan kata amah mu’minah (hamba perempuan yang beriman”) dengan “setiap perempuan Mukmin, baik dia berstatus budak atau merdeka; dan ini berlaku bagi [ungkapan] ‘hamba laki-laki yang beriman’: sebab, seluruh manusia, laki-laki maupun perempuan, adalah hamba Allah”. Terjemahan saya terhadap ayat di atas didasarkan pada penafsiran yang masuk akal”. 

Secara harfiah, kata “amah” artinya budak perempuan; dan ‘abd: budak laki-laki. Tetapi Asad memilih pengertian yang generik dari dua kata itu. Bagi Asad, yang dimaksud dengan ‘amah dan ‘abd dalam ayat 2:221 adalah perempuan dan laki-laki secara umum, baik merdeka atau budak.

Komentar Asad ini menegaskan pandangan dia yang “egaliter”. Dia memilih tafsiran yang “egaliter” atas pengertian kata “amah” dan ” ‘abd”. Asad mengutip keterangan dari mufassir klasik dari tanah Persia, Zamakhsyari (w. 1143) untuk mendukung tafsirannya itu. Dengan demikian, maka ayat 2:221 itu adalah: Janganlah menikahkan atau menikah dengan seorang musyrik/musyrikah. Sesungguhnya perempuan atau laki-laki mukmin, baik budak atau merdeka, lebih baik kalian nikahi. 

Harap diperhatikan, ayat 2:221 ini memakai kata “musyrik”. Jadi, yang dilarang dinikahi oleh seorang Muslim/Muslimah adalah orang musyrik. Perempuan “ahlul kitab” (pengikut agama yang memiliki Kitab Suci), yaitu Yahudi dan Kristen, tak masuk dalam kategori musyrik. Karena itu, dalam ayat yang lain, yaitu 5:5 (Surah Maidah), ditegaskan bahwa seorang laki-laki Muslim boleh menikahi perempuan Yahudi/Kristen.

Kenapa seorang Muslim boleh menikah dengan perempuan Yahudi/Kristen, tapi tak boleh menikahi perempuan musyrik? Asad tak memberi komentar apa-apa. Jawaban atas ini bisa kita baca dalam Tafsir Al-Manar karya Rashid Rida (w. 1935), tafsir modern yang banyak dirujuk Asad sebetulnya. Sedikit digresi dari penjelasan Asad, saya akan ulas sedikit penjelasan tafsir Al-Manar tentang larangan menikahi musyrik ini.

Inti pendapat Rida/Abduh adalah sebagai berikut: Kebolehan laki-laki Muslim menikahi wanita Yahudi/Kristen: Karena tak ada perbedaan iman yang besar. Menurut Abduh: meskipun ada perbedaan akidah antara Islam dan Yahudi/Kristen, tapi perbedaan itu tak terlalu besar. Masih ada titik temu. Sementara, antara Islam dan kepercayaan politeistik bangsa Arab era Nabi tak ada kedekatan sedikitpun. Beda dengan Islam dan Yahudi/Kristen. Inilah, menurut Syeikh M. Abduh, yang menjadi alasan laki-laki Muslim boleh menikahi perempuan Yahudi/Kristen, tapi tidak wanita musyrik.

Penulis

Buletin ghazalia

Dapatkan info publikasi dan program Ghazalia College terbaru.