QS Al-Baqarah: 218: Makna Hijrah

Tafsir Muhammad Asad
— Oleh

Makna Hijrah

“Sungguh, orang-orang yang telah meraih iman, yang telah hijrah meninggalkan ranah kejahatan dan berjuang sungguh-sungguh di jalan Allah – mereka itulah yang boleh mengharapkan rahmat Allah: sebab, Allah Maha Pengampun, Sang Pemberi Nikmat”. [QS Al-Baqarah: 218]

Dalam menafsirkan ayat ini, Asad menjelaskan:

“Ungkapan alladzina hajaru (yang secara harfiah berarti “mereka yang telah meninggalkan kampung halamannya”), pada dasarnya, menunjuk kaum Muslim Makkah awal yang berhijrah atas perintah Nabi ke Madinah – yang pada waktu itu masih bernama Yatsrib- agar dapat hidup merdeka dan sejalan dengan ketentuan Islam. Setelah penaklukan Makkah oleh kaum Muslim pada abad 8 H, hijrah dari Makkah ke Madinah ini tidak lagi menjadi kewajiban keagamaan. Namun, sejak masa-masa awal Islam, istilah hijrah juga memiliki konotasi spiritual – yakni, “meninggalkan ranah kejahatan” dan beralih menuju Allah: dan, karena konotasi spiritual ini berlaku baik untuk kaum muhajirun (orang-orang yang berhijrah_ secara fisik pada awal sejarah Islam maupun untuk seluruh kaum Mukmin pada masa-masa berikutnya yang meninggalkan seluruh perbuatan dosa dan “berhijrah menuju Allah”, saya pun sering menggunakan ungkapan “hajaru” dalam pengertian yang mengandung konotasi spiritual”. 

Ayat ini berkenaan dengan hijrah, yaitu hijrahnya orang-orang Islam dari Mekah ke Madinah untuk menghindari “fitnah” itu.

Yang menarik, Asad menerjemahkan hijrah bukan sekadar hijrah fisik, tetapi juga spiritual. Dia terjemahkan sebagai: meninggalkan ranah kejahatan.

Sekali lagi, ini menunjukkan bahwa Asad menempuh cara yang sangat tak harafiah dalam menerjemahkan Quran. Ini tentu pilihan metodologis yang sah.

Salah satu pendekatan non-harfiah tampak juga dalam contoh lain, yaitu saat Asad menerjemahkan ujung ayat 2:217: hum fiha khalidun. Umumnya, para penerjemah Quran menerjemahkan frasa itu dengan: mereka kekal di dalamnya (neraka). Seperti terjemahan Depag, Prof. Quraish juga menerjemahkan “hum fiha khalidun” dengan cara yang sama dengan terjemahan Depag.

Tetapi Asad menerjemahkan dengan cara yang secara mendasar berbeda: “berkediaman di dalamnya”. Tak ada kata “kekal” di sana. Apa maknanya ini? Mungkin karena Asad mengikuti mazhab teologis yang mengatakan bahwa siksa neraka itu tak kekal. Yang kekal hanyalah kehidupan di sorga.

Penulis

Buletin ghazalia

Dapatkan info publikasi dan program Ghazalia College terbaru.