QS Al-Baqarah: 213: Kesatuan dan Perselisihan Umat

Tafsir Muhammad Asad
— Oleh

QS Al-Baqarah: 211-220

Kesatuan dan Perselisihan Umat

Ada beberapa poin menarik dari tafsir Asad mengenai sepuluh ayat ini. Saya akan mulai dengan ayat 2:213. Ayat ini menarik; bicara soal manusia yang dalam kondisi naturalnya semula bersatu, kemudian cerai-berai. Ayat tersebut berbunyi:

“Seluruh manusia dahulunya adalah umat yang tunggal; [kemudian mereka mulai berselisih-] lalu Allah mengutus para nabi sebagai penyampai berita gembira dan pemberi peringatan dan melalui mereka menurunkan wahyu, yang menyatakan kebenaran, sehingga (kebenaran itu) dapat memutuskan semua perkara yang diperselisihkan di antara manusia. Namun, justru orang-orang yang telah dianugerahi [wahyu] inilah yang mulai, karena saling dengki, berselisih mengenai maknanya setelah semua bukti kebenaran sampai kepada mereka. Namun, Allah membimbing orang-orang Mukmin kepada kebenaran, dengan seizin-Nya, terhadap perkara yang mereka perselisihkan itu: sebab, Allah memberi petunjuk ke jalan yang lurus siapa saja yang ingin [diberi petunjuk]”.

Asad menafsirkannya demikian:

“Dengan menggunakan ummah wahidah (“umat yang tunggal”) untuk menggambarkan kondisi awal manusia, Al-Quran tidak mengemukakan -sebagaimana mungkin tampak secara sepintas- gagasan tentang “zaman keemasan” mitologis yang terjadi pada awal sejarah manusia. Yang disinggung dalam ayat ini hanyalah kesamaan relatif menyangkut persepsi dan kecenderungan naluriah yang menjadi ciri khas mentalitas primitif dan tatanan sosial primitif manusia ketika mereka hidup pada masa-masa awal tersebut. Karena kesamaan itu didasarkan pada sedikitnya perbedaan intelektual dan emosional, dan bukan pada kesepakatan sadar di antara anggota masyarakat manusia, kesamaan tersebut dipastikan pecah seiring dengan tingkat perkembangan manusia selanjutnya. Karena alam-pikirannya semakin kompleks, kapasitas emosional dan kebutuhan individualnya juga menjadi lebih beragam; selain itu, perbedaan pandangan serta kepentingan mulai mengemuka dan umat manusia tidak lagi menjadi “umat yang tunggal” menyangkut pandangan mereka tentang kehidupan dan penilaian moral: dan pada tahap inilah petunjuk Allah menjadi suatu kebutuhan”.

Yang menarik perhatian saya adalah penegasan dalam ayat 2:213 ini, bahwa bangsa-bangsa yang menerima Kitab Suci pada akhirnya berselisih di antara mereka. Ini dapat kita saksikan dalam sejarah tiga agama-agama Semitik: Yahudi, Kristen, dan Islam. Perselisihan terjadi dalam tiga agama itu. Perselisihan itu terjadi kadang begitu kerasnya sehingga mengakibatkan saling-bunuh di antara faksi-faksi dalam agama yang sama yang saling berselisih.

Asad dalam komentarnya atas ayat 2:213 ini menegaskan bahwa dalam kondisi alamiahnya, sebelum dikuasai kepentingan-kepentingan beragam, manusia satu. Tapi setelah muncul kepentingan-kepentingan yang beragam, kesatuan alamiah itu retak, dan manusia berselisih.

Dalam situasi selisih ini, dibutuhkan petunjuk. Petunjuk itu berupa wahyu dari Tuhan yang disampaikan melalui Nabi-nabi. Wahyu ini bisa menjadi “moral guidance” di tengah-tengah perselisihan itu. Tapi Quran menunjukkan sebuah ironi manusia juga. Setelah Kitab Suci itu turun, bisa saja perselisihan masih saja bertahan, bahkan kian akut. 

Kenapa perselisihan tetap bertahan walau Kitab Suci sudah turun? Langsung dijawab oleh ayat 2:213 ini: Karena “baghyan bainahum” (بغيا بينهم). Terjemahan Asad atas frasa “baghyan bainahum” ini menarik. Baca bagian yang saya garis-bawahi: “karena saling dengki”.

Dengan kata lain, petunjuk Kitab Suci tidak ada gunanya bagi manusia dan perselisihan mereka tetap saja bertahan, jika mereka saling dengki. Saling dengki di sini saya pahami sebagai situasi di mana masing-masing golongan bertahan dengan ego golongannya sendiri, tak mau mendengar golongan lain. Saling dengki di sini saya pahami sebagai situasi di mana masing-masing golongan bertahan dengan ego golongannya sendiri, tak mau mendengar golongan lain.

Penulis

Buletin ghazalia

Dapatkan info publikasi dan program Ghazalia College terbaru.