QS Al-Baqarah: 183-185: Tafsir Kewajiban Puasa

Tafsir Muhammad Asad
— Oleh

Tafsir Kewajiban Puasa

Wahai orang-orang yang telah meraih iman! Puasa diwajibkan atas kalian, sebagaimana ia diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian senantiasa sadar akan Allah: [yaitu puasa] selama beberapa hari tertentu. Akan tetapi, siapa saja di antara kalian yang sakit, atau dalam perjalanan, [wajiblah berpuasa selama hari yang ditinggalkannya] pada hari-hari yang lain; dan [dalam hal seperti itu,] wajib bagi yang mampu melakukannya agar berkorban dengan memberi makan seorang miskin. [Al-Baqarah: 183-185]

Poin yang menarik adalah terkait dengan penerjemahan/tafsiran atas ayat 2: 184. Ada frasa dalam ayat ini yang menimbulkan perbedaan tafsir. Yaitu terkait dengan frasa ini: wa ‘ala alladzina yuthiqunahu (وعلى الذين يطيقونه). Apa makna frasa ini sebetulnya? Ada banyak tafsir. Saya akan kutipkan dua terjemahan tafsir Indonesia atas ayat ini: terjemahan Depag dan terjemahan Prof. Quraish.

Ini versi terjemahan Depag:

(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.

Sementara ini adalah versi terjemahan Prof. Quraish. Kurang lebih sama dengan versi Depag, meski Prof. Quraish menambahkan interpolasi:

(Yaitu dalam) beberapa hari yang tertentu. Maka, barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak (hari yang ditinggalkan pada) hari-hari yang lain. Dan (wajib) bagi yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.

Apa implikasi terjemahan Asad ini secara hukum fikih, dan bagaimana ia berbeda dengan terjemahan versi Depag dan Prof. Quraish?

Suatu terjemahan pada akhirnya bukan hanya terjemahan, melainkan juga sebuah tafsir. Tak ada terjemahan yang “murni”; dia pastilah interpretatif! Saya akan terangkan implikasi terjemahan Depag dan Prof. Quraish vis-à-vis terjemahan Asad. Ini “penjelajahan” semantik yang menarik!

Implikasi terjemahan Depag dan Prof. Quraish: Jika orang sakit/bepergian dan berat melakukan puasa, boleh tak puasa dan menggantinya di hari lain.

Implikasi terjemahan Asad: jika seseorang sakit atau bepergian, dia boleh tak berpuasa walau dia tak mengalami kerepotan apapun jika puasa.

Tafsiran ayat 2:184 ini memang beda-beda di kalangan ulama klasik. Asad, melalui terjemahannya ini, melakukan prosedur “ikhtiyar”. Ikhtiyar di sini maksudnya adalah prosedur memilih pendapat yang dianggap lebih kuat menurut seorang sarjana/ulama.

Ini semua menunjukkan satu hal: bahwa Quran memang satu, tetapi penafsiran atas Quran tidaklah satu, melainkan banyak.

Al-Quran adalah Kitab Suci yang “multivocal“, mengandung kemungkinan banyak tafsir dalam sejumlah ayat-ayatnya. Imam Ali (kw.) menyebut Quran sebagai Kitab Suci yang “hammalun dzu wujuh”, mengandung banyak wajah/dimensi semantik.

Penulis

Buletin ghazalia

Dapatkan info publikasi dan program Ghazalia College terbaru.