QS Al-Baqarah: 180: Tafsir Wasiat
Diwajibkan atas kalian—apabila kematian mendekati seseorang di antara kalian dan dia meninggalkan harta yang banyak—berwasial untuk kedua orangtua dan kerabat dekatnya [yang lain] secara adil: ini merupakan kewajiban bagi semua orang yang sadar akan Allah.
Soal wasiat diterangkan dalam ayat 2:180. Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang meninggalkan harta yang banyak diseyogyakan/diharuskan berwasiat. Ini adalah wasiat berkaitan dengan pembagian harta di luar pembagian harta yang sudah ditetapkan dalam hukum kewarisan yang ada.
Keharusan ini hanya berlaku bagi (menurut sebagian mazhab fikih) mereka yang meninggalkan harta yang cukup banyak. Jadi, jika seseorang punya harta banyak, pembagian hartanya ditempuh melalui dua jalan sekaligus: wasiat dan hukum waris yang biasa.
Jika hartanya sedikit, maka keharusan wasiat itu tak ada (menurut sebagian mazhab). Mazhab lain mengatakan: Tetap harus berwasiat.
Ayat 2:180 tentang wasiat untuk pembagian harta ini memang menimbulkan banyak perbedaan pendapat di kalangan ahli hukum Islam. Dalam menghadapi perbedaan ini, Asad tampaknya melakukan “ijtihad” sendiri untuk memilih pendapat yang menurut dia lebih kuat.
Berikut tafsir yang dijelaskan oleh Asad atas ayat 2:180 yang memantik banyak perbedaan ulama tersebut:
Kata “khair” yang ada dalam kalimat ini berarti “harta yang banyak” dan bukan sekadar “kepemilikan”: dan ini menjelaskan mengapa orang yang meninggalkan harta yang banyak diperintahkan untuk membuat wasiat, terutama kepada anggota keluarganya yang berhak, sebagai tambahan atas—dan mendahului pembagian—bagian tertentu yang telah ditetapkan secara hukum, seperti yang disebutkan dalam Surah Al-Nisa’ [4]: 11-12. Penafsiran khair ini didukung oleh ucapan ‘Aisyah dan ‘Ali ibn Abi Thalib, yang keduanya mengacu pada ayat khusus ini (bdk. Al-Zamakhsyari dan Al-Baidhawi).
Dengan demikian Asad berpendapat bahwa wasiat ini adalah keharusan, tetapi hanya bagi mereka yang meninggalkan harta banyak. Bagi mereka yang hanya punya harta sedikit, wasiat ini tak wajib. Pembagian hartanya hanya melalui hukum waris biasa. Demikian pendapat Asad.
Tentang harta banyak di sini, tak ada “hadd”/ batasan definitif. Dalam hal ini, fikih biasa merujuk kepada kebiasaan yang berlaku di sebuah tempat.
Fikih Islam kerapkali menghindar dari menetapkan batasan yang pasti untuk semua hukum. Batasan yang pasti semacam itu kerap merepotkan kita. Fikih Islam kerap mengembalikan sejumlah ketentuan yang sifatnya cabang/furu’iyyah dan berkait dengan aplikasi suatu hukum kepada adat kebiasaan.
Dengan kata lain, fikih Islam itu “realistis”, mempertimbangkan realitas masyarakat; tidak kaku dengan ketentuan yang dipaksakan untuk semua situasi. Kasus definisi jumlah “harta yang banyak” dalam isu wasiat yang dibahas dalam ayat 2:180 ini adalah salah satu contoh realisme fikih Islam.