QS Al-Baqarah: 171-180 (1): Tafsir Ibnu Sabil

Tafsir Muhammad Asad
— Oleh

QS Al-Baqarah: 171-180

Mari kita lihat tafsiran Asad atas sepuluh ayat QS Al-Baqarah: 171-180.

Ayat 171:

Dan demikianlah, perumpamaan orang-orang yang berkukuh mengingkari kebenaran adalah seperti binatang yang mendengar seruan penggembala, dan tidak mendengar dalam seruan itu, kecuali bunyi suara dan seruan saja. Mereka tuli, bisu, dan buta: sebab, mereka tidak menggunakan akalnya.

QS Al-Baqarah: 171 berisi kritik atas orang-orang yang “kafaru“; yakni—dalam tafsiran Asad—orang-orang yang berkukuh mengingkari kebenaran. Kebenaran ilahiah. Orang-orang seperti itu dikritik oleh Quran dengan sebuah metafor: mereka seperti binatang yang saat diteriaki oleh si penggembala, tak paham apa-apa. Orang-orang yang mengingkari kebenaran (ilahiah yang didakwahkan nabi-nabi) dikritik keras oleh Quran sebagai orang-orang yang “tuli, bisu dan buta.” 

QS Al-Baqarah: 171:

Kesalehan sejati diraih bukan karena menghadapkan wajah kalian kea rah timur dan barat -akan tetapi, yang benar-benar saleh adalah orang yang beriman kepada Allah, para malaikat, wahyu, dan para nabi; dan memberikan hartanya- betatapun dia mencintainya- kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir, orang yang meminta-minta, dan untuk membebaskan manusia dari perbudakan; berteguh mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan [yang benar-benar saleh adalah] orang-orang yang menepati janjinya apabila berjanji, dan yang sabar dalam kemalangan, kesukaran, dan pada saat-saat berbahaya: mereka itulah yang telah membuktikan diri mereka benar dan mereka itulah yang sadar akan Allah. 

Tafsir Kesalehan dan Ibnu Sabil

QS Al-Baqarah: 171 ini berbicara tentang konsep kesalehan. Tafsiran Asad atas ayat ini menarik.

Bentuk-bentuk ibadah ritual lahiriah tak mencerminkan kesalehan yang sesungguhnya. Kesalehan yang sejati terletak pada dua hal: iman dan berbuat baik. Kesalehan yang sejati, kata Asad, tercapai jika seseorang beriman dan melakukan tindakan-tindakan sosial-kemanusiaan: membantu orang-orang miskin, dan lain-lain. Termasuk cerminan kesalehan adalah jika seseorang membantu mereka yang disebut “ibnu sabil”.

Asad punya tafsiran menarik soal istilah ini. Menurut Asad, “ibnu sabil“: sesiapa saja yang jauh dari tempat tinggalnya dan tidak mempunyai sarana penunjang hidup. Termasuk seorang eksil. Berikut tafsiran Asad atas istilah “ibnu sabil” ini:

Ungkapan ibn al-sabil (lit., “anak jalan”) berarti siapa saja yang jauh dari tempat tinggalnya, terutama seseorang yang, disebabkan kondisi ini, tidak memiliki sarana penghidupan yang memadai (bdk. Lane IV, h. 1302). Dalam pengertiannya yang lebih luas, istilah ini menggambarkan orang yang, dengan alasan apa pun, tidak sanggup pulang ke rumah, baik secara temporal maupun permanen: misalnya, seorang buangan politik atau pengungsi. 

Penulis

Buletin ghazalia

Dapatkan info publikasi dan program Ghazalia College terbaru.