QS Al-Baqarah: 161-170: Tafsir “Kafir”

Tafsir Muhammad Asad
— Oleh

Ada beberapa hal menarik tekait tafsiran sepuluh ayat ini. Hal pertama yang menarik, Asad menerjemahkan “alladzina kafaru” dengan: orang-orang yang berkukuh mengingkari kebenaran. Terjemahan yang menarik! Dalam versi Inggris aslinya, “alladzina kafaru” diterjemahkan oleh Asad sebagai: those who are bent on denying the truth. Versi terjemahan Depag menerjemahkan frasa “alladzina kafaru” hanya secara sederhana sebagai: orang-orang yang kafir. Baca ayat 161. Terjemahan versi Prof. Quraish Shihab hampir mirip dengan Asad. Kafir dalam terjemahan Prof. Quraish dimaknai sebagai “yang menyembunyikan kebenaran”. Yakni sebagai berikut: 

Sesungguhnya orang-orang kafir (dan menyembunyikan kebenaran yang seharusnya dinampakkan) dan mereka mati (dalam keadaan) kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para malaikat dan manusia semua.

Tafsir Ya’qilun

Hal menarik lain lagi dalam tafsiran Asad adalah saat dia menerjemahkan kata “ya’qilun” (ayat 2:164) berikut ini:

Sungguh, dalam penciptaan lelangit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang: dan dalam bahtera-bahtera yang berlayar membelah lautan dengan (membawa) apa-apa yang berguna bagi manusia: dan dalam air yang Allah turunkan dari langit, yang dengannya hiduplah sang bumi setelah sebelumnya mati, dan menyebabkan segala makhluk hidup berkembang biak di atasnya: dan dalam perkisaran angin, dan awan yang bergerak pada jalurnya yang telah ditentukan antara langit dan bumi: [dalam semua hal ini] sungguh terdapat pesan-pesan bagi kaum yang menggunakan akal-pikirannya.

Dalam catatan kakinya, Asad menambahkan keterangan:

Ayat ini adalah salah satu dari beberapa ayat Al-Quran yang menyeru kepada “kaum yang menggunakan akal-pikirannya” agar mengamati keajaiban alam sehari-hari, termasuk bukti kecerdasan manusia sendiri (“bahtera-bahtera yang berlayar membelah lautan”) di samping juga mengamati banyak isyarat adanya Kekuatan Sadar dan Kreatif yang meliputi alam semesta.

Kata “ya’qilun” tidak diterjemahkan Asad sekadar sebagai orang-orang yang berakal seperti kita kenal selama ini. Tetapi mereka yang menggunakan akal. Terjemahan Asad ini, bagi saya, lebih tepat menangkap nuansa semantik dalam verba (kata kerja) “ya’qilun”. Sebab verba “ya’qilun” dalam bahasa Arab masuk dalam kategori verba yang disebut mudari’. Secara semantik mengandung makna kontinuitas pekerjaan. Ya’qilun dengan demikian lebih tepat dimaknai sebagai: secara konsisten mengaktifkan akalnya untuk menalar dan berfikir. Terjemahan Asad menangkap secara baik nuansa semantik semacam ini.

Saya senang dengan terjemahan Asad semacam ini. Cukup orisinal dan berani.

Kandungan ajaran yang penting: segala hal di alam raya ini adalah tanda bagi adanya Tuhan, tetapi hanya bagi yang menggunakan akalnya. Bagi seorang beriman yang menggunakan akalnya, segala hal dalam alam fisik tak sekadar fakta fisik saja, tetapi tanda bagi (adanya) Tuhan. Alam fisik, bagi seorang beriman yang mendayagunakan nalarnya, merupakan jalan yang akan membimbing pada ide tentang Yang Maha Gaib.

Bagi seorang saintis yang murni bekerja dari sudut sains, tentu saja alam fisik ini tak menunjukkan apapun selain bekerjanya hukum-hukum alam saja. Ketika Stephen Hawking mengatakan bahwa alam ini bekerja secara otonom, tak membutuhkan Tuhan; pernyataan ini benar dalam kerangka sains murni. Tetapi dalam kerangka iman dan keyakinan seorang mukmin, alam ini mengandung dua dimensi: dimensi lahir dan dimensi yang tak nampak. Dimensi lahir diwakili oleh hukum-hukum yang mengatur alam raya ini (natural laws), yang menurut Hawking, berlaku universal di alam raya tanpa kecuali. Dimensi gaib di balik yang lahir diwakili oleh eksistensi dzat Maha Agung yang melandasi seluruh eksistensi, baik yang fisik maupun yang non-fisik.

Tak ada pertentangan antara iman dan sains jika kita letakkan keduanya dalam cara pandang yang tepat. Asad menekankan pengertian ini secara berulang-ulang.

Penulis

Buletin ghazalia

Dapatkan info publikasi dan program Ghazalia College terbaru.