Orang-orang yang lemah akal di antara manusia akan berkata, “Apa yang membuat mereka berpaling dari arah salat yang selama ini mereka jalani”.
Dalam ayat 2:142 ini, Quran menggunakan ungkapan yang keras untuk merujuk orang-orang Yahudi yang memiliki “arogansi teologis” itu. Istilah yang dipakai Quran adalah: al-sufaha’ (السفهاء). Asad menerjemahkannya sebagai “weak-minded”, orang yang lemah akal. Orang-orang Yahudi yang menyaksikan Nabi dan pengikutnya berubah kiblat salat dari Yerusalem ke Ka’bah, bertanya-tanya: Bukankah kiblat yang paling benar adalah Yerusalem? [Ini sebetulnya salah satu refleksi dari arogansi teologis orang-orang Yahudi yang kerap dikritik Quran].
Kata “al-Sufaha’” diterjemahkan secara berbeda-beda oleh penerjemah modern. Saya tertarik melakukan perbandingan. Muhammad Asad, seperti sudah saya sebut, menerjemahkan “sufaha’ ” (bentuk plural “safih”) dengan “weak-minded people”, orang-orang lemah akal. Prof. Quraish Shihab dalam tafsirnya menerjemahkan “sufaha’ ” dengan “orang-orang yang picik”. Sedangkan terjemahan versi Depag, menerjemahkan “sufaha’ ” dengan “orang-orang yang kurang akal”. Sementara terjemahan Quran yang dikerjakan HB Jassin menerjemahkan “sufaha’ ” dengan “orang-orang yang safih”. Dia tambahkan catatan kaki berikut ini: Orang safih, orang yang angkuh, bodoh, kurang ajar, tak masuk nasehat, suka melawan dan tidak ada rasa malu.
Kenapa Muhammad Asad menerjemahkan sufaha’ dengan “weak-minded”? Tampaknya dia mengikuti tafsir Zamakhsyari yang sering ia rujuk juga yang mendefinisikan safih dengan (سخافة العقل وخفة الحلم).
Sedikit catatan untuk terjemahan Mizan. Pada catatan kaki no. 120, istilah “the ideological unity of Islam” diterjemahkan kurang tepat. Terjemahan Mizan: “kesatuan ideologi Islam”. Kurang tepat, karena bisa dipahami kata “ideologi” di situ berfungsi sebagai kata benda. Padahal kata sifat. Terjemahan yang tepat menurut saya: kesatuan ideologis Islam. “Ideologis”, dalam bentuk kata sifat.
