QS Al-Baqarah: 141-150: “Tafsir Kiblat”

Tafsir Muhammad Asad
— Oleh

“Itulah umat yang telah lalu; terhadap mereka akan diperhitungkan apa yang telah mereka usahakan dan terhadap kalian apa yang telah kaian usahakan; dan kalian tidak akan dihakimi berdasarkan apa yang mereka kerjakan”. [Al-Baqarah: 141]

Salah satu isu utama dalam 10 ayat ini adalah soal kiblat, atau arah salat. Tafsiran Asad mengenai hal ini menarik. Mari kita ikuti.

Sebagaimana kita tahu, waktu masih di Mekah, Nabi dan pengikutnya menghadap Yerusalem (Baitul Maqdis) saat salat.

Menurut pendapat Asad, tak ada wahyu yang secara eksplisit memerintahkan Nabi untuk menghadap Kakbah atau Yerusalem sebelum pindah ke Madinah. Tentu saja Nabi mengikuti tradisi masyarakatnya di Mekah saat itu dengan menjadikan Kakbah sebagai kiblat ibadah.

Tetapi, Nabi juga sadar bahwa Yerusalem adalah tempat suci di mana sejarah nabi-nabi Israel berpusat. Nabi ingin juga menjadikannya sebagai kiblat. Saat salat di Mekah, Nabi menempuh cara unik: berdiri di tembok bagian selatan Kakbah, menghadap utara. Dengan begitu, Nabi menghadap Kakbah dan Baitul Maqdis atau Yerusalem sekaligus. Saat hijrah ke Madinah, tentu cara ini tak bisa dilakukan Nabi. Saat di Madinah, Nabi salat dengan menghadap ke utara, ke Yerusalem yang merupakan kiblat salatnya orang-orang Yahudi juga.

Praktek itu bertahan selama kurang lebih 16 bulan, hingga akhirnya Nabi diperintahkan menghadap Kakbah dalam salat.

Semula, mungkin, Nabi berharap dengan menghadap Yerusalem, beliau berharap orang-orang Yahudi Madinah bersimpati pada dakwahnya. Ternyata tidak. Justru, orang-orang Yahudi menunjukkan sinisme dan (kalau memakai bahasa era medsos sekarang) “kenyinyiran” pada dakwah Nabi.

Bagian awal surah Al-Baqarah memang berisi semacam “percakapan polemis” dengan orang-orang Yahudi. Salah satu sikap bangsa Yahudi yang banyak dikritik bagian awal ayat-ayat dalam surah al-Baqarah adalah “arogansi teologis” mereka. Baca 2:111. Quran mengkritik arogansi teologis orang-orang Yahudi itu, yang menganggap mereka saja yang akan meraih keselamatan. Yang lain, tidak.

Karena sikap masyarakat Yahudi Madinah yang resisten/”nyinyir” pada dakwahnya itu, Nabi mulai merasa kurang pas salat menghadap Yerusalem. Nabi berharap salat menghadap Kakbah kembali.

Maka turunlah ayat 2:142 ini. Ayat ini menjadi pembuka dari juz (bagian) kedua dalam Quran. Selengkapnya, baca komentar dan tafsir Muhammad Asad terhadap ayat 2:142 ini. Saya tuliskan berikut ini:

Sebelum diangkat menjadi nabi, dan selama periode awal dakwahnya di Makkah, Nabi-dan para pengikutnya- biasa bersalat menghadap Ka’bah. Ini tidak diperintahkan oleh wahyu tertentu, tetapi tentu saja disebabkan fakta bahwa Ka’bah-meskipun pada waktu itu dipenuhi dengan berbagai patung yang sangat dihormati bangsa Arab pra-Islam-selalu dipandang sebagai rumah ibadah pertama yang dipersembahkan Tuhan Yang Maha Esa (bdk. Surah Alu Imran [3]: 96). Karena menyadari kesucian Yerussalem (Al-Quds)-tempat suci lainnya bagi agama tauhid-Nabi biasa melaksanakan salat di depan dinding selatan Ka’bah sehingga mengarah ke utara. Jadi, seolah-olah menghadap ke Ka’bah dan Yerussalem sekaligus. Setelah hijrah ke Madinah, Nabi tetap bersalat menghadap ke utara, dengan Yerussalem sebagai qiblah (kiblat: arah salat). Namun, sekitar enam belas bulan setelah tiba di Madinah, Nabi menerima wahyu (ayat 142-150 surah ini) yang tidak diragukan lagi menetapkan Ka’bah sebagai kiblat bagi para penganut Al-Quran. “Ditinggalkannya” Yerussalem ini tentu tidak menyenangkan kaum Yahudi Madinah, yang pasti merasa senang ketika mereka melihat kaum Muslim bersalat ke arah kota suci mereka; dan kepada merekalah kalimat pembuka ayat ini ditujukan. Apabila kita melihat masalah tersebut dari titik pandang sejarah, tidak pernah ada perubahan perintah Allah berkenaan dengan kiblat ini: karena tidak ada perintah apa pun perihal kiblat ini sebelum ayat 142-150 di atas diwahyukan. Hubungan logis ayat-ayat ini dengan rangkaian ayat sebelumnya, yang terletak pada fakta bahwa Ibrahim-lah orang yang mendirikan struktur awal rumah ibadah itu, yang kemudian dikenal dengan Ka’bah. 

Penulis

Buletin ghazalia

Dapatkan info publikasi dan program Ghazalia College terbaru.