Pendidikan Nasional Akan Selalu Kontroversial

— Oleh

Setiap terjadi pergantian menteri pendidikan, sudah bisa dipastikan akan muncul debat yang panas tentang kebijakan pendidikan mana yang tepat, dan arah pendidikan yang mana yang lebih cocok dengan keadaan di Indonesia. Kontroversi tak akan bisa dihindarkan. Setiap orang memberikan pendapatnya. Sebagian yang lain “meneriaki” pihak yang memiliki pendapat yang beda dalam isu pendidikan sebagai “dungu” dan “ngaco.”

Yang kita lihat kemudian adalah semacam “cacophony,” campur aduk suara dan pendapat yang saling bertentangan satu dengan yang lain.

Contoh yang baik adalah kontroversi yang disulut oleh statemen Mendikdasmen yang baru, Prof. Abdul Mu’thi, tentang kajian kembali atas Ujian Nasional (UN), sistem ranking, pengenalan AI dan coding sejak di tingkat SD, dsb. Gagasan Pak Menteri ini langsung menimbulkan diskusi publik yang seru dan panas.

Saya memiliki tesis: setiap diskusi soal kebijakan tertentu menyangkut pendidikan nasional sudah pasti akan berujung pada debat yang panas. Ada sekurang-kurangnya dua alasan:

(1) Setiap orang memiliki “model pendidikan” yang ia anggap ideal. Masing-masing kelompok dan komunitas juga memiliki model yang berbeda-beda. Setiap orang dan kelompok memiliki “asumsi-asumsi tersembunyi” di balik kepala tentang “what kind of education it should be.” Makin banyak sumber-sumber bacaan, pengalaman, dan informasi yang dimiliki oleh seseorang dan kelompok, termasuk informasi tentang “jenis pendidikan ideal” yang dipraktekkan di negeri lain, makin akut perbedaan yang muncul.

Ada orang-orang dan kelompok yang menjadikan “pendidikan model Jepang” sebagai “exemplary model,” teladan ideal. Ada yang menjadikan negeri-negeri Skandinavia sebagai model; ada yang menjadikan pendidikan lokal ala pesantren atau praktek-praktek pendidikan pribumi lain sebagai “referensi “yang harus pertama kali dijadikan rujukan.

Dan seterusnya.

Yang repot, menurut saya (boleh jadi saya salah! ), adalah tak adanya “mekanisme penciptaan konsensus” di tengah “cacophony” ini. Masing-masing pihak berpegang pada pendapatnya sendiri, “keukeuh”, sembari, kadang-kadang, memandang pendapat pihak lain sebagai ” bodoh” atau “keliru sama sekali.” Saya melihat kecenderungan “absolutisme” kecil-kecilan.

(2) Pendidikan nasional akan selalu kontroversial karena ia diarahkan untuk menghasilkan kebijakan yang berlaku “universal” untuk semua pihak yang tinggal dalam batas-batas sebuah negara. Sementara itu pihak-pihak yang tinggal di sebuah negara begitu beragam, dengan visi pendidikan dan kepentingan yang berbeda-beda.

Karena itu, tak akan ada sistem dan kebijakan pendidikan nasional yang memuaskan semua pihak. Tak akan ada, apapun bentuk kebijakan itu. Setiap kebijakan pendidikan sudah pasti akan memuaskan SEBAGIAN pihak saja. Sumber masalahnya satu: karena ia mau dijadikan sebagai sistem yang berlaku nasional. Sementara di bawah payung “nation” itu berlindung banyak orang dan golongan dengan visi dan kepentingan yang berbeda.

Apakah dengan demikian kita tinggalkan saja ambisi untuk merumuskan kebijakan yang bersifat nasional?

No, itu bukan jawaban. Karena kita hidup di sebuah negara kesatuan, tidak bisa tidak kita harus merumuskan sebuah “sistem” yang bersifat nasional. Tidak bisa tidak. Hanya saja, kita harus sadar bahwa sistem yang bersifat nasional itu harus memperhatikan keragaman dan variasi pada tingkat lokal. Meski demikian, seberapapun kita sudah memperhatikan “kearifan lokal,” pada akhirnya sistem itu tetap tidak akan bisa memuaskan semua pihak dan golongan.

Kontroversi akan terus berlangsung dan perbedaan akan tetap terjadi. Dan ini, “on positive note,” menandakan bahwa semua pihak merasa memiliki pendidikan, dan karena itu mereka merasa perlu berpendapat. Ini adalah sesuatu yang positif.

Perbedaan dan kontroversi mengenai setiap kebijakan pendidikan nasional menandakan bahwa semua pihak merasa sebagai “the owner of this nation,” pemilik tanah air ini.[]

(Sumber: Gus Ulil)

Penulis

Buletin ghazalia

Dapatkan info publikasi dan program Ghazalia College terbaru.