Resume Ngaji Ihya #62

Ngaji Ihya Ulum al-Din
— Oleh

Resume Ngaji Ihya’ #62 – Menutup Pintu Masuk Setan

(Ini sesi setahun lalu Kopdar di Unisma Malang, dalam rangka Dies Natalisnya yang ke-37. Tetapi karena kendala teknis menjadi salah satu sesi yang terlongkap. Ada pembicara lain selain Gus Ulil, yakni DR KH M Dhiyauddin Quswandi. Kata sambutan dan pengantar tidak ditranskrip ya. Jika tertarik, monggo disimak di kanalnya Gus Ulil di Youtube. Jangan lupa subscribe!)

Esensi kitab Ihya’ Ulumuddin – kitab yang paling populer di dunia Islam baik Sunni maupun Syiah, dan juga di luar dunia Islam. Ada syarah untuk kalangan Yahudi – ada di jilid III dan IV. Jilid III berisi tentang akhlak yang merusak jiwa/kalbu manusia (al-muhlikat). Jilid IV adalah tentang obat (al-munjiyad) bagi al-muhlikat. Jadi Ngaji Ihya’ ini dimulai dari jilid III terus IV, lalu mundur ke jilid 1 dan 2 yang berisi tentang ibadah dan muamalah.

Bagian ini adalah penutup dari keterangan Al-Ghazali tentang “jalan-jalan masuk yang dipakai setan untuk menguasai jiwa manusia.” Ada banyak sekali jalan, tapi Al-Ghazali hanya menjelaskan yang pokok-pokok saja. Sekurang-kurangnya, meski kita tidak bisa menutup jalan-jalan tersebut secara keseluruhan, minimal kita bisa membuat ancang-ancang, antibodi, untuk melindungi diri kita dari penguasaan setan atas jiwa kita.

Setan mengikuti kapasitas orang yang digodanya. Semakin tinggi keimanan dan ilmu seseorang, semakin “senior” juga setan yang mengikutinya.

Orang Awam Jangan Ikut Berdebat

Salah satu jalan masuk setan (madakhilus syaithan) adalah melibatkan orang-orang awam dalam masalah-masalah keagamaan dan keilmuan yang mereka sebenarnya tidak memiliki keahlian di situ. Al-Ghazali menyebutkan “[Setan] mendorong orang-orang awam yang tidak memiliki kompetensi di situ.” Hanya karena punya akun FB dan WA, dalam konteks sekarang, orang menjadi terdorong untuk membicarakan hal-hal yang sebenarnya di luar kemampuannya, dan bahkan merasa ahli dan benar sendiri hanya dengan menguasai satu dua ayat. Bahkan mereka berani merendahkan para kyai yang belajar sepanjang hidupnya hanya karena pandangannya tidak cocok dengan yang diyakininya. Inilah sumber kerusakan dalam masyarakat dan semakin umum dalam media sosial kita hari ini. Al-Ghazali sudah menengarai hal ini 1000 tahun yang lalu.

Jadi hati-hati mengajak orang awam membahas sesuatu yang mereka tidak kuasai sama sekali. Imam Al-Ghazali menulis kitab berjudul Iljam al-‘awwam ‘an al-Khaudi ‘Ilm al-Kalam (Mencegah Orang-orang Awam untuk Ikut Masuk Secara Mendalam dalam Membahas Ilmu Kalam). Ilmu Kalam adalah ilmu tentang Sifat-sifat Allah dan Zat-Nya.

Imam Abu Hasan Al-Asyari, pendiri akidah Asyariyah yang dijadikan pedoman Aswaja di seluruh dunia Islam Sunni menulis dalam buku beliau, Istihsanul Khaudi fi ‘Ilmil Kalam, bahwa mendalami ilmu kalam itu baik. Tetapi, menurut Al-Ghazali. jika “tidak cukup modal” hasilnya tidak bagus. Hanya mereka yang siap dengan pengetahuan dasar yang diperbolehkan membahas ilmu kalam yang spekulatif. Sementara orang awam sebaiknya diajak untuk mempelajari ilmu-ilmu yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari mereka, seperti cara sholat, puasa, berzakat dan berhaji yang dalam bagian awal kitab Ta’lim al-Muta’allim disebut sebagai ilm al-hal – yaitu ilmu yang dibutuhkan seseorang pada suatu saat ketika diperlukan. Jika ingin berhaji, pelajari tentang manasik haji, misalnya. Ilm al-hal adalah fardhu ‘ain yang wajib dipelajari pertama oleh semua orang.

Ilm al-hal setiap orang berbeda-beda. Seorang rektor _‘ilm al-hal_nya adalah bagaimana mengembangkan universitas yang dipimpinnya. Sementara ‘ilm al-hal mahasiswa adalah bagaimana menghadapi ujian semester. Jadi ‘ilm al-hal adalah ilmu yang praktis yang langsung digunakan pada saat itu. Itulah sebaik-baik ilmu yang dipejari oleh seorang mukmin. Ada pun ilmu-ilmu yang spekulatif seperti ilmu kalam, tasawuf falsafinya Ibn Arabi dan sejenisnya, orang awam tidak usah diajak karena itu menurut Al-Ghazali akan menjadi pintu masuk setan. Ilmunya per se bagus, tetapi ketiadaan kesiapan akan menjadikannya sebagai pintu masuk bagi pengaruh setan atas jiwa manusia.

Bagaimana menutup pintu-pintu tersebut agar tidak merusak jiwa manusia?

“Berkata sahabat Abu Hurayrah, ‘Setannya orang beriman bertemu dengan setannya orang-orang kafir dan setannya orang kafir tampak gemuk, mengkilat, berpakain bagus, sementara setannya orang mukmin kurus, rambutnya gimbal/berantakan, berdebu, dan pakaiannya compang-camping. Berkata setannya orang kafir kepada setannya orang mukmin, ‘Kenapa kamu kurus?’ Berkata setannya orang mukmin, ‘Aku bersama seorang laki-laki yang ketika makan ia menyebut asma Allah, maka jadilah aku sebagai orang yang lapar. Dan ketika ia minum, ia menyebut asma Allah, maka jadilah aku sebagai orang yang haus. Dan ketika ia memakai pakaian, ia juga menyebut asma Allah. Maka jadilah aku orang yang telanjang [karena baju yang dipakai dengan menyebut asma Allah, setan tidak akan bisa menyertai]. Dan ketika ia meminyaki rambutnya ia menyebut Allah, maka jadilah aku sebagai orang dengan rambut yang berantakan.

Maka menjawab setannya orang kafir, ‘Aku menyertai seorang laki-laki yang tidak melakukan sedikit pun hal-hal yang engkau sebutkan itu. Karena itu aku menyertai dia dalam makanannya, dalam minumannya, dan dalam pakaiannya.”

Apa yang bisa kita pelajari? Di bagian sebelumnya Al-Ghazali sudah menerangkan bahwa setiap manusia tanpa terkecuali ada setannya masing-masing (selain malaikat, yang tidak menjadi fokus pembahasan di sini), tidak peduli kelas sosialnya. Sampai sahabat bertanya kepada Nabi apakah beliau “ditunggui” setan juga? “Iya,” jawab Nabi. Hanya bedanya setannya Nabi sudah dijinakkan. Berbeda dengan setannya manusia awam seperti kita yang masih liar, sehat bugar dan atletis, dan sangat menguasai kita. Secara filosofis, pemahaman ini mengajarkan bahwa setiap manusia tanpa terkecuali punya potensi untuk salah, karena ada setan dalam diri masing-masing. Tidak ada orang yang bebas meskipun ia seorang ahli ibadah. Karena itu itu salah satu konsep penting dalam tasawuf adalah al-khauf wa al-roja’, (takut/waspada/hati-hati/pesimis/precaution, dan harapan/optimis). Kita “perlu” punya pesimis atau khawatir (al-khauf) karena ada setan dalam diri setiap manusia (yakni setan al-walhan, yang membuat kita lengah). Jadi khawatir untuk tujuan kehati-hatian agar tidak terlanjur terjerumus godaan al-walhan.

Jadi kesimpulan sejauh ini: Pertama, setan itu dibagi ke dalam dua jenis: setan yang bisa berkembang biak di dalam diri orang yang tidak bisa menguasai dirinya, yakni orang yang tidak bisa menutup jalan-jalannya setan masuk ke dalam diri. Ia akan tumbuh seperti tanaman yang diberi pupuk setiap hari. Kedua, setan atau kekuatan jahat yang tidak tumbuh, menjadi kurus, karena tidak ada feeding. Kedua, setan itu ada di dalam diri orang beriman dan orang kafir. Dua-duanya punya setan. Iman tidak lantas menjadikan kita dijamin oleh Allah bebas dari godaan setan. Tetap saja ada setannya, hanya derajatnya yang berbeda. Setan di dalam diri orang yang tidak bisa mengontrol dirinya akan tumbuh subur, tetapi setan di dalam diri orang yang bisa mengontrol dirinya akan kurus kering. Namun barometer gemuk-kurusnya setan hanya orang yang bersangkutan yang tahu. Tingkatan keimanan juga berbeda-beda, dan menjadi pembeda antara satu mukmin dengan mukmin lainnya.

Moral of the story: jangan merasa aman dari godaan setan. Karena itu disunnahkan dalam setiap urusan untuk membaca basmalah dan isti’adzah untuk memohon perlindungan dan penjagaan. Karena setiap orang punya “virus jahat” itu dan tidak semuanya bisa selalu ‘under control’, maka berdoa menjadi penting.

“Berkata Muhammad Ibn Wasi’ [seorang tabi’in], bahwa ia mewiridkan setiap selesai sholat subuh, ‘Ya Allah, telah Engkau kuasakan kepada kami musuh yang mengetahui kelemahan-kelemahan kami dan melihat musuh-musuh kami, dia dan bala tentaranya dapat melihat kami sedangkan kami tidak dapat melihat mereka. Ya Allah, buatlah ia berputus asa dari kami sebagaimana Engkau telah membuatnya berputus asa dari rahmat-Mu. Buatlah ia berputus asa dari kami sebagaimana Engkau telah membuatnya berputus asa dari ampunan-Mu. Jauhkanlah ia, wahai Allah, dari kami sebagaimana Engkau telah menjauhkannya dari surga, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu, Wahai Yang Maha Pengasih dari semua yang berjiwa kasih’.”

Pertarungan manusia dengan setan adalah pertarungan yang asimetris, yang tidak seimbang. Setan bisa mengawasi manusia, sementara manusia tidak. Artinya peluang setan untuk menang lebih besar daripada sebaliknya, dan itu alasan kita harus “khawatir” terus-menerus yang diimbangi dengan harapan bahwa kita masih mungkin mengalahkan setan, betapapun peluangnya lebih kecil.

Namun menurut Al-Ghazali, wirid tersebut tidak akan ada gunanya jika tidak disertai dengan usaha lain. Di bagian sebelumnya Al-Ghazali sudah menerangkan bahwa zikir itu hanya berguna untuk mengusir setan bagi orang-orang yang memenuhi syarat.Yang utama adalah berusaha menata diri agar bisa menutup pintu-pintu potensial masuknya pengaruh setan. Jika kita hanya mengandalkan pada zikir (misalnya pada film-film tentang exorcism), tidak bisa efektif karena bukan begitu cara kerjanya setan.

Jika syarat-syarat pokok sudah dipenuhi lalu kita lengah, barulah zikir atau wirid itu ada gunanya.

“Berkata Muhammad Ibn Wasi’, bahwa suatu hari iblis menampakkan diri dalam bentuk manusia di hadapannya ketika beliau sedang menuju masjid pada suatu subuh. Iblis berkata, ‘Wahai Ibn Wasi’, apakah engkau mengenalku?’ Menjawab Ibn Wasi’, ‘Siapakah engkau?’ Aku iblis. Ibn Wasi’ bertanya lagi, ‘Apa yang engkau kehendaki?’ ‘Aku ingin engkau tidak mengajarkan kepada siapapun doa isti’adzah yang engkau wiridkan itu, dan aku tidak akan mengganggumu lagi.’ Berkata Muhammad Ibn Wasi’, ‘Demi Allah, aku tidak akan mencegah siapapun yang menghendaki wirid ini. Maka berbuatlah sekehendakmu, wahai iblis’.” Intinya, wirid ini salah satu obat untuk menangkal kemungkinan setan menguasai diri kita. Tapi, seperti dikatakan Al-Ghazali, harus disertai syarat pendamping.

“Berkata Abdurrahman Ibn Layla, ‘Suatu hari ada setan yang datang kepada Rasulullah saw dengan membawa sebatang obor. Rasul membaca basmalah, doa isti’adzah, dan sebagainya, namun setan tersebut tak kunjung pergi. Maka datanglah malaikat Jibril dan berkata,‘Ucapkanlah wahai Nabi Allah, ‘Aku mohon perlindungan Allah dengan kalimat-kalimatNya yang sempurna, yang tidak bisa melampauinya orang yang baik dan orang yang zalim. Aku berlindung kepada Allah dari segala kejahatan yang masuk ke dalam bumi dan segala sesuatu yang keluar darinya. Dari kejahatan yang turun dari langit dan yang menuju langit. Dari kejadian-kejadian di siang dan malam hari, kecuali kejadian yang mengandung kebaikan dari Ar-Rahman.’ Nabi pun mengucapkan wirid tersebut, dan padamlah obor serta terjungkallah iblis yang membawanya.”

Inti dari keterangan ini semua adalah, cara mengatasi agar setan tidak menguasai diri kita adalah dengan memutus jalan-jalan masuknya setan dan membawa wirid-wirid antara lain yang diajarkan sebelumnya. Sebagai mukmin kita harus terus melakukan proteksi diri untuk melindungi batin kita dari kerusakan dan kelumpuhan karena dampaknya yang lebih berbahaya daripada masalah kelumpuhan fisik. Tangan yang sehat bisa menjadi alat berbuat keburukan karena dipandu oleh batin yang sakit/rusak. Jika terpaksa memilih, akan lebih baik memilih zahir saja yang rusak ketimbang batin. Problem modernitas sekarang adalah penampilan luar yang secara lahiriah sangat keren. Tetapi pertanyaannya adalah, apakah penampilan batin kita sebaik penampilan zahir kita?

KH DR M. Dhiyauddin Quswandi

Karya Ihya’ adalah karya yang monumental dan paling banyak dibaca oleh umat Islam setelah Al-Quran. Jika Quran itu sapi, maka Ihya’ adalah susunya, sementara Hikam adalah menteganya. Andaikata semua perpustakaan Islam terbakar dan hanya tersisa kitab Ihya’, maka itu sudah cukup bagi kaum muslim. Demikian sempurnanya kitab ini.

Ada banyak syarah dan ringkasan terhadap kitab Ihya’. Beberapa ulama Wahabi menolak kitab Ihya’ karena menganggap banyak hadis dhaif yang dicantumkan di dalamnya. Sebenarnya, orang yang mempelajari Ihya’ harus memahami dulu struktur fundamentalnya. Ada 40 persoalan pokok agama (arba’in fi ushuluddin) yang semuanya merujuk pada Quran dan hadis yang sahih, yang menjadi basis bagi kitab Ihya’. Kalaupun ada hadis dhaif yang masuk di dalamnya, maka itu hanya pendukung saja. Sebenarnya di dalam kitab Ihya’ ada 4500 hadis dan hanya tiga yang dinyatakan sebagai hadis maudhu. Jadi kalaupun yang tiga hadis itu dilepaskan (dikeluarkan), tidak akan mengubah struktur Ihya”. Dan kalau hanya karena tiga hadis itu lalu kita mendiskualifikasi Ihya’, artinya kita sudah melakukan gebyah uyah, global labelling.

Kita sudah mendengar tentang pintu-pintu masuknya setan (madakhilusy syaithan), yang levelnya setara atau bahkan lebih tinggi dari manusia yang digodanya. Manusia itu umurnya pendek, sementara setan panjang dan karenanya pengalaman menggoda manusianya juga panjang, sepanjang sejarah manusia. Itu kelebihan pertama dari empat kelebihan setan. Kedua, setan melihat kita sementara kita tidak melihat setan. Ketiga, setan tidak punya pekerjaan lain kecuali menyesatkan manusia, sementara manusia selain menghadapi setan punya banyak pekerjaan lainnya. Keempat, setan selalu ingat pada manusia, sementara manusia tidak selalu ingat kepada setan.

Jadi ini pertempuran yang tidak seimbang. Karena itulah Allah memberikan pertolongan kepada manusia, memberikan manusia tempat bersandar. Berdoa tanpa punya tempat bersandar tidak ada gunanya.

Tujuh Langkah Setan

Di dalam surat Al-Baqarah Allah menyatakan, “Wahai orang yang beriman, masuklah kamu semua ke dalam Islam. Janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kalian,” (surat Al-Baqarah ayat 208). “Masuk” berarti dari luar ke dalam. Dari permukaan ke dasar. Dari organisasi menuju ke substansi.

Ada pun yang disebut “langkah-langkah setan” itu ada tujuh: (1) mengajak orang ke arah kekafiran, (2) jika tidak bisa, maka ia akan mengajak ke arah syirik yang variannya banyak sekali, (3) jika syirik tidak bisa karena akidah yang sanga kuat, maka manusia akan dibujuk untuk melakukan dosa besar seperti mabuk dan berzina. (4) Seandainya bertobat, maka langkah setan berikutnya banyak di antara kita yang tidak bisa menghindar, yakni melakukan dosa-dosa kecil. (5) Tetapi jika manusia banyak beristighfar, setan akan menggodanya melalui penyia-nyiaan waktu, misalnya menghabiskan waktu untuk main game, atau menunda-nunda pekerjaan. (6) Jika bisa sadar, setan masih punya cara lain, yakni mendorong manusia melakukan amal sunnah dan meninggalkan yang wajib. Atau menjauhi yang makruh tetapi melakukan yang haram. Misalnya meninggalkan rokok tapi melakukan korupsi. (7) Tapi jika self-control tetap kuat, maka yang terakhir adalah mendorong manusia melakukan semua amal saleh baik sunnah maupun wajib, menjauhi yang makruh dan subhat, apalagi haram, tetapi sambil menanamkan tiga hal, yakni sombong, dengki dan riya. Inilah tujuan utama setan yang menghancurkan manusia.

Karena itu zikir penting, tapi ilmu juga penting. Yang menjadi kekuatan dari setan itu adalah tipu daya. Karena itu setan lebih takut kepada orang alim yang banyak ilmunya. Di dalam surat Al-A’raf Allah sudah memperingatkan bahwa setan akan datang dari belakang, depan, kanan dan kiri. Dari belakang maksudnya dari masa lalu, yang setiap orang punya. Masa lalu yang tidak kita sukai, atau kita sukai, yang membuat kita gagal move on, itu adalah pintu masuk setan. Dari “depan” maksudnya adalah ketakutan dan kekhawatiran yang terus-menerus. Sementara dari kanan maksudnya adalah dari kenikmatan, sementara kiri adalah musibah.

Karena itu para ahli sufi mengajarkan agar manusia ridho terhadap masa lalunya. Tentang masa depan, manusia harus tawakkal agar tidak menjadi bulan-bulanan setan. Sementara dari gangguan masa kini, dari kanan dan kiri, manusia harus mempertebal rasa syukur terhadap nikmat yang ia peroleh dan sabar terhadap musibah yang menimpa. Jadi empat yang harus ditanamkan terus-menerus dalam diri adalah: ridho, tawakkal, sabar dan syukur atas semua keadaan. Ihya’ disusun dengan tujuan agar manusia menjadi ahli syukur.

Untuk sesuatu yang belum terjadi, kita sering mengatakan insyaAllah, yang maksudnya menyerahkan urusannya kepada Allah. Tetapi jika sudah selesai, kita sering lupa mengembalikan lagi urusannya kepada Allah. Untuk yang belum terjadi, kita harus berikhtiar (aspek zahir) dan bertawakkal (aspek batin). Setan tidak akan bisa menggoda orang yang bertawakkal, yakni yang bersandar dan menyandarkan urusannya kepada Allah.

Dalam hidup manusia selalu diuji oleh dua hal, iradat tasyriyat dan iradat takwiniyat, perintah dan larangan, kegagalan dan keberhasilan, karena itu perlu sabar dan tawakkal. Jika tidak ada dua kualitas itu dalam diri, manusia akan selalu menjadi bulan-bulanan setan.

Kekuatan zikir hanya akan efektif menangkal pengaruh setan jika disertai dengan pengenalan terhadap pintu-pintu masuknya pengaruh setan dan berusaha menutupnya. Tetapi lebih dari itu zikir memiliki fungsi kesadaran akan muraqabah, pengawasan diri, self control.

Surat Al-Anbiya ayat 1-3 berbicara mengenai dajjal, yakni setan besar di akhir zaman yang sekaligus menjelaskan karakteristik pengikut dajjal:

  • “Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya).
  • Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Qur’an pun yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main.” (manusia mendengar informasi dari berbagai saluran, tetapi mereka tetap memilih untuk main-main.)
  • (lagi) hati mereka dalam keadaan lalai [kosong]. Dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka: “Orang ini tidak lain hanyalah seorang manusia (jua) seperti kamu, maka apakah kamu menerima sihir itu, padahal kamu menyaksikannya?”

Maka untuk selamat dari godaan dajjal, hati harus dijaga agar tidak lalai. Para ahli tahkik menjelaskan ada enam hal yang menunjukkan seseorang berada dalam keadaan lalai:

  1. Lupa bahwa dirinya senantiasa diawasi oleh Allah SWT.
  2. Lupa bahwa dirinya adalah hamba Allah, tidak memiliki apa-apa, bahkan dirinya sendiri. Semuanya milik Allah SWT.
  3. Lupa bahwa semua hamba itu bersaudara (prinsip brotherhood), tidak memandang agama.
  4. Lupa bahwa kehidupan di dunia ini hanya untuk sementara dan semu. Imajiner. Jika dikupas, yang tersisa hanyalah hal yang menjijikkan.
  5. Lupa bahwa kelak ada hari pertanggungjawaban. Tidak ada yang bisa lolos dari pengadilan Allah. Becik ketitik, olo ketoro.
  6. Lupa bahwa ada satu jalan keselamatan, yakni mengikuti ajaran Rasulullah saw. Patuh dan berserah diri adalah intinya, yang akan mengantarkan pada kedamaian (inti kebahagiaan).

Kesadaran terhadap enam hal tersebut adalah hal fundamental dalam tasawuf yang harus dimiliki oleh para salik. Zikir penting dalam konteks menjaga kesadaran ini. Dalam surat Al-Hadid ayat 4, bagian akhir, Allah SWT berfirman, “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” Jangankan yang kita perbuat, sedangkan yang di dalam hati saja Allah juga melihat. Kesadaran semacam inilah yang harus terus dipelihara.

Tanya Jawab

  1. Tentang kelompok-kelompok awam yang saling mengafirkan.

Sering menjadi debat yang tidak ada ujungnya (debat kusir). Dalam sejarah pemikiran Islam disebut sofism, tidak ada kaidah, semaunya sendiri. Masing-masing pihak memegang pendapatnya sendiri dan tidak ada standar yang disepakati.

Ada hadis sahih yang termasuk dalam kelompk hadis tentang fitnah (kekacauan sosial akibat disinformasi_). “Suatu saat nanti akan terjadi banyak fitnah. Ketika itu terjadi, maka orang yang duduk lebih baik dari orang yang berdiri (siap terlibat dalam fitnah). Dan orang yang berdiri saja, lebih baik dari orang yang berdiri dan jalan. Orang yang berjalan dengan pelan, lebih baik dari orang yang sa’i (berjalan cepat). Dan orang yang berjalan cepat lebih baik dari orang yang naik kuda.”_ Maksudnya: orang yang tidak punya kompetensi untuk memadamkan fitnah maka lebih baik ia diam. Jangan ikut-ikutan kalau tidak tahu ujung pangkal masalahnya. Masalah kita hari ini adalah banyaknya orang yang bodoh tapi tidak tahu bahwa dirinya bodoh. Merasa dirinya tahu. Akhirnya ia malah menambahi masalah, bukannya menyelesaikan masalah. Bukan berarti kita sekarang harus menutup akun medsos dan menjual telepon genggam milik kita. Intinya kita harus sadar bahwa itu semua punya potensi sebagai pintu masuknya pengaruh setan.

Kedua, yang juga penting dalam konteks ini, orang awam jangan ikut-ikutan dalam perdebatannya kaum ulama. Ulama berbeda pendapat tidak apa-apa, karena mereka tahu dalil dan menguasai hujjahnya. Sementara orang awam, yang tidak menguasai argumen seperti halnya kaum ulama, hanya akan jatuh ke dalam fanatisme yang merupakan salah satu pintu masuknya pengaruh setan (Lihat catatan no. 56 tentang ta’ashub dan no. 58 tentang godaan perbedaan).

Tentang mazhab, menurut Al-Ghazali orang awam itu tidak punya mazhab. Mazhabnya orang awam adalah mengikuti ulama yang menjadi rujukannya. (Ada di salah satu sesi Ngaji Ihya”. Lupa yang mana. Nanti saya cari lagi.)

  1. Bagaimana menstabilkan keimanan?

Tidak ada jalan pintas. Baca kitab Ihya’ secara keseluruhan, dari awal sampai akhir. (Ini ada di catatan Ngaji Ihya’ #53, tapi bentuknya status. Nanti saya sertakan di bagian komentar).

  1. Bagaimana membentengi diri dari masuknya pengaruh setan?

Zikir adalah sarana, cara untuk bersikap muraqabah, tapi harus diikuti oleh syarat untuk membuatnya efektif, yakni ikhtiar untuk menutup pintu-pintu masuk pengaruh setan. Problem kita sekarang adalah mudah terpukau pada hal-hal yang sifatnya lahiriah. Segala sesuatu harus tangible, akibat cara pandang materialiasme. Hal-hal yang rohaniah, yang tidak bisa dilihat mata, dianggap tidak ada, karena infrastrukturnya tidak ada alias rusak semua. Mengaji Ihya” dan Hikam adalah salah satu cara untuk membangun kembali infrastruktur rohani tersebut.

Penulis

Buletin ghazalia

Dapatkan info publikasi dan program Ghazalia College terbaru.